Sukses

Buruh: Perppu Cipta Kerja Bikin Agen Outsourcing Menjamur

Perppu Cipta Kerja yang menuliskan, penyerahan sebagian pelaksanaan kepada perusahaan alih daya atau outsourcing ditentukan oleh pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta Kemunculan kembali Pasal 64 dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menimbulkan tanda tanya besar bagi kelompok buruh. Pasalnya, pemerintah kembali mengizinkan adanya perusahaan alih daya (outsourcing) agar perusahaan bisa meminjam tenaga kerja tambahan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berujar, aturan soal tenaga outsourcing malah jadi makin membingungkan dalam Perppu tersebut.

"Perusahaan dapat mengadakan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan alih daya. Artinya outsourcing tetap boleh, tanpa kejelasan," kata dia, Rabu (4/1/2023).

Iqbal juga menyoroti poin dalam Perppu Cipta Kerja yang menuliskan, penyerahan sebagian pelaksanaan kepada perusahaan alih daya atau outsourcing ditentukan oleh pemerintah.

"Lah, pembatasannya berapa, 5 jenis pekerjaan kah yang boleh outsourcing, 10 jenis kah, 20 kah?" sebut dia.

Mengutip UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, ia menyebut tenaga outsourcing hanya dibolehkan untuk 5 jenis pekerjaan saja, yakni katering, security, driver, cleaning service, dan jasa penunjang perminyakan.

"Di dalam Perppu, pemerintah yang menentukan tanpa pembatasan. Ini lebih membingungkan, yang memberikan ketidakpastian hukum," keluh dia.

"Pasal outsourcing harus dikembalikan ke UU 13/2003. dengan dua poin, untuk kegiatan pokok tidak boleh menggunakan outsourcing, untuk kegiatan penunjang boleh. Poin kedua, kegiatan penunjang yang boleh gunakan outsourcing hanya 5 jenis pekerjaan saja dibatasi," pintanya.

 

2 dari 4 halaman

Perppu Cipta Kerja Batasi Jenis Pekerjaan yang Bisa Dilakukan Outsourcing

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam konteks ketenagakerjaan, Perppu Cipta Kerja ini merupakan bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja atau buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis," kata Ida Fauziyah melalui Siaran Pers Biro Humas Kemnaker, Rabu (4/1/2023).

Adapun substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perpu ini antara lain, Pertama, ketentuan alih daya (outsourcing). Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.

“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah," kata Menaker.

 

3 dari 4 halaman

Upah Minimum

Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam PP.

Pada Perppu ini ditegaskan gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi dari pada UMP.

“Kata 'dapat' yang dimaksud dalam Perpu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP," kata Menaker.

Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih.

4 dari 4 halaman

Disabilitas

Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Menaker menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan Pemerintah di beberapa daerah antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.

"Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha," pungkas Menaker.

 Â