Sukses

Tak Bawa Pulang Devisa Hasil Ekspor, Bea Cukai Denda 216 Eksportir Senilai Rp 53 Miliar

Ada batas waktu pelunasan tagihan bagi para eksportir yang dikenai sanksi oleh Bea Cukai. Batas pelunasan paling lambat 7 bulan sejak diterbitkannya surat tagihan.

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah melakukan penindakan kepada 216 eksportir yang melanggar aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Para eksportir ini tidak menaruh dana Devisa Hasil Ekspor sumber daya alam (SDA) di dalam negeri.

Penindakan Ditjen Bea Cukai kepada ratusan eksportir tersebut adalah  sanksi administratif berupa denda dengan total nilai mencapai Rp 4,5 miliar.

Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan denda yang dikenakan pada ratusan eksportir itu nilainya mencapai Rp 53 miliar. Namun hingga saat ini, baru Rp 4,5 miliar yang masuk ke kas negara.

“[Sanksi] dikenakan terhadap 216 lebih eksportir sesuai ketentuan, dan sampai saat ini sudah masuk sekitar Rp 4,5 miliar dari hasil jatuh tempo,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Rabu (4/1/2023).

Askolani menekankan ada batas waktu pelunasan tagihan bagi para eksportir yang dikenai sanksi. Dia menyebutkan batas pelunasan paling lambat 7 bulan sejak diterbitkannya surat tagihan.

Sebagai informasi, DHE SDA adalah devisa hasil kegiatan ekspor barang yang berasal dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. Nantinya, eksportir memasukkan devisa itu ke rekening khusus DHE SDA.

Eksportir yang tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam rekening khusus akan dikenakan denda. Adapun pungutan denda itu disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sejalan dengan itu, sedikitnya ada Rp4,5 miliar hasil pungutan denda yang sudah diterima negara dalam bentuk PNBP. Askolani menyampaikan DJBC akan mengawal proses pelunasan tagihan denda tersebut.

“Tentu akan kami pantau dan [pembayaran denda] diselesaikan sesuai kewajiban mereka [para eksportir pelanggar aturan Devisa Hasil Ekspor],” kata Askolani. 

2 dari 3 halaman

Penipuan Atas Nama Bea Cukai Cetak Rekor, Kerugian Tembus Rp 8,3 Miliar

Kasus penipuan atas nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan kepada orang pribadi pecah rekor, hampir mencapai 7.000 kasus hingga November 2022. Total kerugian yang diakibatkan sekitar Rp 8,3 miliar.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Hatta Wardhana mengatakan, berdasarkan statistik pelaporan para korban, jumlah pelaporan kasus penipuan bea cukai ada sebanyak 6.958 kasus hingga akhir November 2022. Jumlah itu melonjak pesat dibanding keseluruhan tahun 2021, sebanyak 2.491 kasus.

"Tahun ini rekor banget, hampir 7.000. Mungki sekarang sudah 7.000 totalnya," kata Hatta saat konferensi pers di Kantor Ditjen Bea Cukai, Jakarta, Kamis (22/12/2022).

Menurut catatannya, kasus penipuan atas nama Bea Cukai pada 2018 jumlahnya 1.463 kasus. Angkanya naik perlahan jadi 1.501 kasus pada 2019, melambung jadi 3.284 kasus di 2020, dan sedikit menurun jadi 2.491 kasus pada 2021.

Untuk tahun ini, total kerugian dari para korban yang melapor ke Bea Cukai hingga November 2022 sebanyak Rp 8,3 miliar.

"Potensi kerugian yang berhasil diselamatkan atau belum adanya transfer dana dari korban ke penipu sebanyak Rp 12,6 miliar," imbuh Hatta.

 

3 dari 3 halaman

5 Modus Utama

Ditjen Bea Cukai pun menangkap 5 modus utama pelaku penipuan, mulai dari modus diplomatik, romansa, money laundring, lelang, dan paling banyak berkedok sebagai online shop.

Korban penipuan terbanyak berasal dari modus online shop, mencapai 264 kasus hingga November 2022. Diikuti romansa 172 kasus, modus lain-lainnya 118 kasus, diplomatik 54 kasus, pencucian uang 6 kasus, dan lelang 4 kasus.

"Penipuan seperti ini marak terjadi akhir pekan dan menjelang hari libur nasional. Jadi masyarakat harus lebih waspada karena penipuan maraknya terjadi di waktu-waktu tersebut karena kantor pemerintah dan perbankan tutup, sehingga menyulitkan korban konfirmasi," pungkas Hatta.