Sukses

Kemnaker Menguak 2 Hal Penting di Balik Penerbitan Perppu Cipta Kerja

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan ada dua urgensi diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja, yang telah diterbitkan pada 30 Desember 2022.

"Poin yang perlu segera ada ya segera diterbitkan isinya apa kalau kita lihat dari janjinya ada dua hal besar," kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, dalam konferensi pers Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau UU No.2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, Jumat (6/1/2023).

Adapun dua urgensi diterbitkannya Perppu Cipta kerja. Pertama, Indonesia masih membutuhkan penciptaan yang berkualitas.

Alasannya, karena Kemnaker mencatat terdapat kenaikan jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang, naik 4,20 juta orang dibanding Februari 2021.

Sedangkan, penduduk bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97 persen) bekerja pada kegiatan informal.

Selain itu, pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada 11,53 juta orang (5,53 persen) penduduk usia kerja, yaitu pengangguran sebanyak 0,96 juta orang, Bukan Angkatan Kerja sebanyak 0,55 juta orang, tidak bekerja sebanyak 0,58 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 9,44 juta orang.

Sehingga, dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.

Urgensi kedua, yakni perlu penguatan fundamental ekonomi nasional untuk menjaga daya saing. Sebab saat ini terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan laju harga (fenomena stagflasi). Disisi lain, kondisi perekonomian dunia diproyeksikan akan memburuk di tahun 2023.

Disamping itu, masih terdapat permasalahan supply chains atau mata rantai pasokan yang berdampak pada keterbatasan suplai terutama pada barang-barang pokok (seperti makanan dan energi) serta kenaikan inflasi di beberapa negara maju (seperti Amerika dan Inggris).

"Tingkat ketidakpastian (uncertainties) yang tinggi pada dunia, terutama didorong oleh kondisi geopolitik. Hal ini akan mendorong risiko pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih lemah dan inflasi yang lebih tinggi," ujarnya.

Lebih lanjut, latar belakang diterbitkannya Perppu Cipta Kerja ini karena perlu respon segera untuk mengantisipasi dampak dinamika global melalui pembuatan standar kebijakan

"Diterbitkannya Perppu Cipta Kerja dilatarbelakangi oleh beberapa hal atau kondisi yang jelas adalah bagaimana respon kita terhadap dinamika Global yang terjadi saat ini dan yang akan datang," ujarnya.

Selain itu, latar belakang lainnya yaitu dalam rangka melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dimana berdasarkan Putusan tersebut perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian UU Nomor Perlu respon segera untuk mengantisipasi dampak dinamika global melalui pembuatan standar kebijakan.

2 dari 3 halaman

Perppu Cipta Kerja Banjir Penolakan, Menko Airlangga: Dalam Demokrasi Harus Ada Kritik

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir 2022 mengumumkan bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Terbitnya Perppu Cipta Kerja ini langsung dikritik banyak pihak baik pengusaha, buruh maupun akademisi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku pro kontra atas kebijakan pemerintah merupakan hal yang biasa. Apalagi Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi.

"Demokrasi harus ada yang memberikan apresiasi dan mengkritik," kata Airlangga santai saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (5/1/2022).

Airlangga menjelaskan, terbitnya Perppu tersebut merupakan upaya pemerintah dalam memberikan dasar hukum. Mengingat didalam Perppu tersebut tidak hanya berisikan sektor ketenagakerjaan.

"Kalau misalnya tidak ada dasar hukum kan, bank tanah kelanjutannya gimana, HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) bagaimana. Kita punya sovereign wealth fund bagaiamana?," ungkapnya.

Salah satu yang menyoroti Perppu tersebut ialah Presiden Partai Buruh atau Ketua Serikat Buruh Said Iqbal. Dia menyatakan, organisasi serikat buruh lainnya menolak isi Perppu Nomor 2 tahun 2022. Hal ini karena isi dari Perppu Cipta Kerja dianggap merugikan buruh.

Reporter : Anisyah Al Faqir

Sumber : Merdeka.com

3 dari 3 halaman

Pasal Outsourcing di Perppu Cipta Kerja Bikin Pengusaha dan Pekerja Bingung

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyoroti kemunculan pasal soal tenaga alih daya (outsourcing) yang kembali dituliskan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).

Pasal outsourcing yang sebelumnya dihilangkan dalam UU Cipta Kerja malah ditampilkan lagi di aturan penggantinya. Menurut Timboel, buka hanya buruh yang kelabakan atas regulasi itu, tapi pengusaha juga.

"Memunculkan kembali Pasal 64 tentang alih daya (outsourcing) di Perppu Nomor 2/2022 yang sebelumnya dihapus di UU Cipta Kerja, tidak memberikan kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha," tegasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/1/2023).

Timboel menilai, kehadiran Pasal 64 ini tidak memuat kepastian penggunaan pekerja alih daya hanya untuk pekerjaan yang bersifat penunjang. Ketentuan itu padahal sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Adapun Pasal 64 Perppu Cipta Kerja mengamanatkan pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya tanpa pengecualian bidang. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Diamanatkannya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan di tingkat PP akan membuka ruang bebas kepada pemerintah mengatur dan merevisinya. Sehingga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha," kata Timboel.

Seharusnya, ia menekankan, Perppu menyatakan secara tegas pekerjaan yang bisa dialihdayakan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang dimuat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.

"Bila ketentuan ini dimuat di tingkat UU maka akan sulit untuk diubah, dan ini akan memberikan kepastian kepada pekerja dan pengusaha," pungkas Timboel.

Â