Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyoroti optimisme yang sempat dikabarkan para pelaku keuangan di 2022. Alih-alih pulih dari pandemi Covid-19, banyak negara maju dunia yang harus berhadapan dengan lonjakan inflasi akibat permintaan kenaikan gaji.
Sri Mulyani lantas menceritakan pengalamannya saat berbagi kisah dengan para ekonom dan bankir dunia di 2022. Sesudah 3 tahun hibernasi, pelaku usaha disebutnya sempat merasa percaya diri lagi untuk kembali melakukan kegiatan ekonomi, pasca ditemukannya vaksin Covid-19. Sayangnya, kenyataan belum selancar yang diperkirakan.
Baca Juga
"Ternyata enggak semuanya kembali secara smooth dan lancar. Karena ternyata manusia itu tidak bisa kayak listrik, di on and off," kata Sri Mulyani dalam acara CEO Banking Forum, Senin (9/1/2023).
Advertisement
Nyatanya, ia melanjutkan, aktivitas kemudian berjalan namun belum ditopang sisi suplai. Restoran-restoran kembali dibuka, tapi rekrutmen untuk pelayannya tidak terjadi dengan gampang.
"Toko-toko dibuka, pelayannya tidak cukup, barangnya masih stranded. Kontainer waktu itu 3 tahun ada yang di Amerika, Eropa, Asia, Tanjung Priok, karena 3 tahun tidak terjadi traffic, demand-nya di mana, supply-nya di mana, kontainernya di mana," paparnya.
Ketika pergerakan barang sudah terjadi, Sri Mulyani menambahkan, kebanyakan supir truk di pelabuhan ogah mengangkutnya. Pasalnya, mereka hanya mau menyupiri dengan syarat dibayar jauh lebih mahal.
"Jadi kalau kamu mau saya keluar dari hybernated saya, bayar saya lebih tinggi. That's memicu inflasi dari sisi wage, upah harus dinaikkan untuk menarik orang dari kandangnya," ungkapnya seraya menirukan permintaan para supir truk pengangkut logistik.
"Itu memicu jumlah barang, jumlah permintaan, jumlah services, then gaji-gaji yang meningkat. Itu fenomena yang to be very honest, di negara-negara maju, para policy makers taken aback. Mereka surprise dengan situasi itu," imbuhnya.
Mengutip prediksi ekonom dan bankir dunia, Sri Mulyani menyebut lonjakan inflasi yang terjadi hanya bersifat temporary. Tapi kenyataannya, inflasi makin kesurupan hingga memicu permintaan kenaikan gaji atau upah.
"If you expect the economy to move again, then you have to pay higher. Itu lah yang sebetulnya paling dikhawatirkan para policy makers dari sisi moneter," ujar Sri Mulyani.
Ekonom Ini Ramal Ekonomi Global Bakal Tak Baik-baik Saja Hingga 10 Tahun ke Depan
Penulis dan kepala ekonom di Tressis Gestion, Daniel Lacalle memprediksi perekonomian global akan menghadapi perlambatan hingga satu dekade ke depan.
"Saya pikir kita mungkin akan memasuki satu dekade pertumbuhan yang sangat, sangat buruk di mana negara ekonomi maju akan menemukan diri mereka beruntung dengan pertumbuhan 1 persen per tahun, jika mereka mampu mencapainya, dan apa yang lebih disayangkan daripada yang lainnya adalah dengan tingkat inflasi yang tinggi," kata Lacalle, mengutip CNBC International, Rabu (4/1/2023).
"Saya pikir kita sedang menjalani reaksi dari paket stimulus besar-besaran yang diterapkan pada tahun 2020 dan 2021. Hal itu tidak menghasilkan potensi pertumbuhan yang diharapkan banyak ekonom," sambungnya, kepada Squawk Box Europe CNBC.
Selain itu, dibukanya kembali aktivitas ekonomi China secara penuh akan menjadi langkah positif terbesar yang diharapkan pasar untuk tahun 2023 ini.
"Kami telah melihat gambaran yang sangat suram untuk ekonomi China, tidak hanya untuk pertumbuhan seluruh dunia tetapi khususnya untuk Amerika Latin dan juga untuk Afrika," sebut Lacalle.
Dia mengakui, dibukanya kembali aktivitas ekonomi China memang akan memberikan dorongan yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi dunia, tetapi eksportir dari negara Eropa salah satunya Jerman dan Prancis masih merasakan tekanan dari lockdown dan pelemahan bisnis di negara itu.
Menurutnya, dorongan tersebut belum cukup untuk mendekati tingkat pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi.
Namun terlepas dari prospek yang suram, Lacalle masih optimis upaya mencegah krisis ekonomi masih bisa dilakukan.
“Saya pikir pasar mulai menghargai lingkungan di mana situasi global bukan lagi berfokus pada tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi, tetapi situasi yang menghindari krisis keuangan, dan jika itu terjadi, itu pasti positif," pungkasnya.
Seperti diketahui, perekonomian dunia telah bergulat dengan banyak guncangan mulai dari perang di Ukraina hingga kebijakan nol-Covid-19 di China dan lonjakan inflasi.
Dana Moneter Internasional (IMF) kini memproyeksikan bahwa pertumbuhan PDB global akan melambat dari 6 persen pada tahun 2021 menjadi 3,2 persen pada tahun 2022 dan 2,7 persen pada tahun 2023.
IMF menyebut hal itu sebagai pertumbuhan terlemah sejak tahun 2001 kecuali untuk krisis keuangan global dan fase akut dari pandemi Covid-19.
Â
Advertisement
IMF Ramal Sepertiga Ekonomi Dunia Bakal Resesi di 2023
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan bahwa sepertiga dari ekonomi global akan mengalami resesi tahun ini.
"Kami memperkirakan sepertiga perekonomian dunia akan mengalami resesi," kata Georgieva, dikutip dari BBC, Selasa (3/1/2023).
Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang," ujarnya dalam program berita CBS Face the Nation.
Georgieva sebelumnya juga sudah mengatakan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang "lebih sulit" daripada tahun lalu karena Amerika Serikat, Eropa, dan China melihat perlambatan ekonomi.
Perlambatan ini didorong sejumlah isu global yang membebani ekonomi global, salah satunya adalah perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, suku bunga yang tinggi, dan penyebaran Covid-19 di China.
Georgieva pun memperingatkan bahwa China, yang merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia, akan menghadapi awal tahun 2023 yang sulit.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, pertumbuhan global juga bisa negatif," sebutnya.
Tak hanya negara Barat, Komentar Georgieva juga tidak terkecuali bagi negara Asia yang mengalami tahun yang sulit di 2022.
IMF pada Oktober 2022 telah memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2023 ini. Penurunan proyeksi IMF didorong oleh perang di Ukraina yang berkepanjangan serta suku bunga yang tinggi di berbagai bank sentral di seluruh dunia untuk mengendalikan inflasi.Â
Bagaimana Pandangan Ekonom?
Katrina Ell, seorang ekonom di Moody's Analytics di Sydney, memberikan pandangannya tentang ekonomi dunia.
"Sementara baseline kami menghindari resesi global selama tahun depan, kemungkinan salah satunya sangat tidak nyaman. Eropa, bagaimanapun, tidak akan lolos dari resesi dan AS tertatih-tatih di ambang (resesi)," katanya.
"Pembatasan Covid-19 domestik yang dilonggarkan China bukanlah peluru perak. Transisi akan bergelombang dan menjadi sumber volatilitas setidaknya hingga bulan Maret," sebut Ell.
Adapun Bill Blaine, ahli strategi dan kepala aset alternatif di Shard Capital, menggambarkan peringatan IMF sebagai alarm saat menyambut Tahun Baru 2023.
"Meskipun pasar tenaga kerja di seluruh dunia cukup kuat, jenis pekerjaan yang diciptakan belum tentu bergaji tinggi dan kita akan mengalami resesi, kita tidak akan melihat suku bunga turun secepat yang dipikirkan pasar," katanya kepada program Today di BBC Radio 4.
"Hal itu akan menciptakan serangkaian konsekuensi yang akan membuat pasar gelisah setidaknya selama paruh pertama tahun 2023," pungkasnya.Â
Advertisement