Sukses

Beda Pendapat Menaker Vs Buruh Soal Aturan Outsourcing di Perppu Cipta Kerja, Siapa Benar?

Pengaturan tenaga alih daya (outsourcing) dalam Perppu CIpta Kerja menimbulkan beda kesepahaman antara pemerintah dan kaum buruh.

Liputan6.com, Jakarta - Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) terus menuai pro dan kontra. Salah satunya terkait tenaga alih daya (outsourcing) yang menimbulkan beda kesepahaman antara pemerintah dan kaum buruh.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, ada penyempurnaan menyangkut ketentuan outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perppu ini jenis pekerjaan alih daya dibatasi.

"Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui peraturan pemerintah," ujar Menaker Ida dikutip dari pernyataan resminya, Rabu (11/1/2023).

Itu turut ditegaskan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHIJSK) Kemnaker, Indah Anggoro Putri. Menurutnya, perubahan ketentuan outsourcing dilakukan untuk memberikan peluang lebih besar untuk kalangan pekerja agar menjadi pekerja tetap.

Dengan membatasi jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan, maka pekerja bisa lebih mendapat kepastian untuk PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu). Jika tidak dibatasi, dikhawatirkan pengusaha akan terus menerus memilih outsourcing.

Selain itu, Indah menyebut pembatasan jenis pekerjaan untuk outsourcing juga dilakukan agar tidak menganggu upaya pengusaha atau perusahaan untuk mengembangkan usaha. Sejalan dengan hal tersebut, ketenangan dalam bekerja dapat dicapai dan produktivitas dapat ditingkatkan. "Sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha," imbuhnya.

 

2 dari 4 halaman

Tak Ada Batasan

Namun, seluruh klaim itu tetap dipertanyakan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, yang mengaku makin bingung pasca membaca aturan soal tenaga outsourcing dalam Perppu Cipta Kerja.

"Lah, pembatasannya berapa, 5 jenis pekerjaan kah yang boleh outsourcing, 10 jenis kah, 20 kah?" sebut dia.

Mengutip UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, ia menyebut tenaga outsourcing hanya dibolehkan untuk 5 jenis pekerjaan saja, yakni katering, security, driver, cleaning service, dan jasa penunjang perminyakan.

"Di dalam Perppu, pemerintah yang menentukan tanpa pembatasan. Ini lebih membingungkan, yang memberikan ketidakpastian hukum," keluh dia.

"Pasal outsourcing harus dikembalikan ke UU 13/2003. dengan dua poin, untuk kegiatan pokok tidak boleh menggunakan outsourcing, untuk kegiatan penunjang boleh. Poin kedua, kegiatan penunjang yang boleh gunakan outsourcing hanya 5 jenis pekerjaan saja dibatasi," pintanya.

3 dari 4 halaman

Bikin Pengusaha dan Pekerja Bingung

Sebelumnya, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyoroti kemunculan pasal soal tenaga alih daya (outsourcing) yang kembali dituliskan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).

Pasal outsourcing yang sebelumnya dihilangkan dalam UU Cipta Kerja malah ditampilkan lagi di aturan penggantinya. Menurut Timboel, buka hanya buruh yang kelabakan atas regulasi itu, tapi pengusaha juga.

"Memunculkan kembali Pasal 64 tentang alih daya (outsourcing) di Perppu Nomor 2/2022 yang sebelumnya dihapus di UU Cipta Kerja, tidak memberikan kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha," tegasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/1/2023).

Timboel menilai, kehadiran Pasal 64 ini tidak memuat kepastian penggunaan pekerja alih daya hanya untuk pekerjaan yang bersifat penunjang. Ketentuan itu padahal sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

4 dari 4 halaman

Menciptakan Ketidakpastian

Adapun Pasal 64 Perppu Cipta Kerja mengamanatkan pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya tanpa pengecualian bidang. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Diamanatkannya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan di tingkat PP akan membuka ruang bebas kepada pemerintah mengatur dan merevisinya. Sehingga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha," kata Timboel.

Seharusnya, ia menekankan, Perppu menyatakan secara tegas pekerjaan yang bisa dialihdayakan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang dimuat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.

"Bila ketentuan ini dimuat di tingkat UU maka akan sulit untuk diubah, dan ini akan memberikan kepastian kepada pekerja dan pengusaha," pungkas Timboel.