Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs memperkirakan ekonomi zona euro atau Eropa tumbuh sebesar 0,6 persen tahun ini.Â
Melansir Euro News, Rabu (11/1/2023) angka tersebut menandai kenaikan dibandingkan dengan perkiraan Goldman Sachs sebelumnya, yang sempat melihat adanya risiko kontraksi pada ekonomi zona euro.
Baca Juga
Perbaikan itu didorong oleh penurunan harga gas alam dan pembukaan kembali perbatasan serta aktivitas ekonomi di China.
Advertisement
"Kami mempertahankan pandangan kami bahwa pertumbuhan kawasan Euro akan melemah selama bulan-bulan musim dingin karena krisis energi, tetapi tidak lagi akan mengalami resesi teknis," kata ekonom Goldman Sachs yang dipimpin oleh Sven Jari Stehn dalam sebuah catatan.
Sebelumnya, pada November 2022 bank di Wall Street itu memperkirakan ekonomi Eropa bakal kontraksi 0,1 persen.
Sebagai informasi, resesi teknis biasanya didefinisikan sebagai kontraksi dua kuartal berturut-turut dalam produk domestik bruto (PDB) suatu negara.
Adapun inflasi Eropa yang diperkirakan akan mencapai sekitar 3,25 persen pada akhir 2023 dibandingkan dengan perkiraan 4,50 persen sebelumnya, ungkap para ekonom Goldman Sachs.
Pada Desember 2022, pertumbuhan harga konsumen di Eropa melambat menjadi 9,2 persen dari 10,1 persen di bulan sebelumnya, menurut data dari Eurostat pekan lalu.
Mengingat sifat inflasi yang "lengket", Goldman Sachs memperkirakan Bank Sentral Eropa akan tetap melanjutkan kenaikan suku bunga 50 basis poin pada Februari dan Maret 2023, sebelum melambat menjadi 25 bps untuk tingkat akhir 3,25 persen pada bulan Mei.
Suram Resesi Kian Dekat, Bank Dunia Pangkas Ramalan Ekonomi Global 2023 jadi 1,7 Persen
Bank Dunia memangkas ramalan pertumbuhan ekonomi global di 2023 menyusul dampak kenaikan suku bunga bank sentral besar, perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung serta lonjakan inflasi di berbagai negara.
Lembaga keuangan internasional itu juga kembali memperingatkan bahwa resesi semakin dekat.
"Mengingat kondisi ekonomi yang rapuh, setiap perkembangan baru yang merugikan - seperti inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan, kenaikan suku bunga yang tiba-tiba untuk menahannya, kebangkitan pandemi COVID-19 atau meningkatnya ketegangan geopolitik - dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi, " kata bank dalam pernyataan yang menyertai laporan tersebut, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (11/1/2023).
Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan PDB global menjadi 1,7 persen tahun ini. Angka itu merupakan laju paling lambat di luar resesi pada tahun 2009 dan 2020 sejak 1993.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global Bank Dunia sebelumnya pada Juni 2022, ekonomi global 2023 diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,0 persen. .
Selain itu, Bank Dunia juga memprediksi akan adanya elambatan besar di negara maju, termasuk pemangkasan tajam perkiraan ekonomi AS menjadi 0,5 persen dan zona euro, yang diramal bisa mengalami resesi kurang dari tiga tahun setelah yang terakhir.
"Kelemahan dalam pertumbuhan dan investasi bisnis akan memperparah pelemahan yang sudah memburuk di bidang pendidikan, kesehatan, kemiskinan dan infrastruktur serta tuntutan yang meningkat dari perubahan iklim," ujar Presiden Bank Dunia David Malpass.
Advertisement
Bank Dunia : Lonjakan Inflasi Mulai Mereda, Tapi Masih Ada Risiko Gangguan Pasokan
Bank Dunia juga mencatat bahwa beberapa tekanan inflasi mulai mereda menjelang akhir tahun 2022, dengan harga energi dan komoditas yang lebih rendah, tetapi memperingatkan risiko gangguan pasokan baru tinggi, dan inflasi inti yang meningkat dapat bertahan.
Masalah ini dapat menyebabkan bank sentral merespons dengan menaikkan suku bunga kebijakan lebih dari yang diperkirakan, memperburuk perlambatan global.
Dengan demikian, Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyerukan adanya peningkatan dukungan dari komunitas internasional untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi guncangan pangan dan energi, masyarakat yang terlantar akibat konflik, dan meningkatnya risiko krisis utang.
Dikatakan bahwa pembiayaan dan hibah konsesi baru diperlukan bersamaan dengan pemanfaatan modal swasta dan sumber daya domestik untuk membantu meningkatkan investasi dalam adaptasi iklim, modal sumber daya manusia dan kesehatan.
Laporan terbaru ini keluar saat dewan Bank Dunia diperkirakan akan mempertimbangkan "peta jalan evolusi" baru bagi lembaga tersebut untuk memperluas kapasitas pinjamannya dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan krisis global lainnya.
Rencana tersebut akan memandu negosiasi dengan pemegang saham, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, untuk perubahan tbesar dalam model bisnis bank tersebut sejak pembentukannya pada akhir Perang Dunia II.
Tenang, Indonesia Tak Akan Resesi di 2023
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati optimis ekonomi Indonesia di 2023 tidak mengalami resesi. Menyusul, proyeksi terbaru Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang memprediksi sepertiga dunia akan mengalami resesi di tahun ini.
"IMF baru saja memprediksi sepertiga dari ekonomi dunia akan kemungkinan terkena resesi. Kita (Indonesia) tidak termasuk yang sepertiga, InsyaAllah," ujar Sri Mulyani dalam acara Apresiasi Media Nagara Dana Rakca di Jakarta, ditulis Sabtu (7/1/2023).
Sri Mulyani menerangkan, optimisme tersebut berkaca dari terjaganya laju pertumbuhan ekonomi nasional di zona positif. Per kuartal III-2022, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,72 secara year on year (yoy).
"Kita selalu menyampaikan bahwa pemulihan ekonomi kita kuat sampai dengan kuartal III-2022," jelas Sri Mulyani.
Di kuartal IV-2022, Sri Mulyani optimis ekonomi Indonesia juga mampu tumbuh di kisaran 5 persen secara tahunan. Sehingga, untuk keseluruhan tahun 2022 ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5 persen.
"Total di 2022 kita bisa tumbuh di atas 5 persen," ucap Sri Mulyani.
Meski begitu, dirinya berjanji akan terus waspada menyikapi berbagai tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia di tahun 2023. Khususnya terkait tahun politik hingga ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi.
"Di 2023 tantangan harus kita jaga, tapi ada optimisme dan kewaspadaan," tegas Sri Mulyani. Â
Advertisement