Â
Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perhubungan menyatakan akan menjalankan kebijakan Zero Odol (over dimension overload) di 2023. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak.
Baca Juga
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta pemerintah agar tidak tergesa-gesa dalam menerapkan kebijakan itu. Dia mengatakan, kebijakan yang dibuat serampangan hanya akan membuat masyarakat semakin susah.
Advertisement
"Iya kalau menurut saya sih memang masih belum waktunya. Itu (kebijakan) ada efek dominonya kan," kata Trubus saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Dia mengatakan, penerapan zero odol di 2023 akan memicu kenaikan harga barang konsumsi mengingat tidak sedikit kebutuhan bahan pokok masyarakat yang diangkut menggunakan truk. Kalau sudah begitu masyarakat kembali menjadi korban dari kebijakan yang gegabah hingga dipaksa berdamai dengan keadaan.
Asumsi perhitungan kenaikan harga barang akibat penerapan zero odol yang prematur sempat dihitung oleh Asosiasi Logistik Indonesia (ALI).
Mereka memperkirakan bahwa harga barang logistik akan naik hingga 50 persen akibat kebijakan tersebut, artinya publik harus mengeluarkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Â
Daya Saing Industri Bakal Menurun
Lebih jauh, Trubus menjelaskan bahwa kebijakan zero odol juga berdampak pada daya saing industri dalam negeri. Dia mengatakan, industri harus menanamkan modal untuk menambah unit distribusi mereka lantaran truk akan mendapat tindakan pidana apabila melintas melebihi kapasitas angkut.
Trubus mengatakan, kondisi itu akan membuat distribusi barang-barang yang sudah diproduksi industri akan tertahan hingga ke daerah-daerah. Hal ini akan memicu kelangkaan ketersediaan barang yang berdampak pada peningkatan harga hingga berpotensi memicu inflasi.
"Jadi ini masih terlalu beresiko kalau mau diterapkan. Menurut saya bisa diterapkan tapi untuk jangka pendek ini perlu kolaborasi dan sinergitas antara kementerian perhubungan, kementerian perindustrian, dan pemerintah daerah," katanya.
Pemerintah menilai bahwa truk odol menjadi penyebab kerusakan jalan. Trubus berpendapat kalau penambahan armada transportasi angkutan logistik juga memiliki dampak negatif terhadap jalan. Dia mengatakan, frekuensi perlintasan angkutan juga berpotensi memperpendek usia jalan.
"Belum lagi kemacetan juga. Nambah truk lagi ya nambah kemacetan juga. Antrian itu kan ada karena jumlah truknya jadi lebih banyak. Belum lagi (perusahaan) harus menambah SDM-nya juga," katanya.
Â
Advertisement
Pengembangan Jalur Logistik
Di lain kesempatan, Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya S. Dillon menilai perlunya dibuat pengembangan jalur logistik yang tidak hanya berbasis jalan raya. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya merencanakan pembangunan pelabuhan dan sentra industri terintegrasi dengan konektivitas rel.
"Sehingga, arus lalu lintas barang bervolume tinggi dapat terlayani dengan efisien dan berkeselamatan," katanya.
Dia menjelaskan, pengembangan transportasi logistik tersebut juga sekaligus untuk mendukung pelaksanaan zero odol. Sayangnya, sambung dia, kewenangan manajemen transportasi angkutan barang berbasis jalan raya masih belum sepenuhnya terintegrasi, karena masih ada kewenangan Ditjen Bina Marga, Kementerian PUPR dan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub.
Pria yang akrab disapa Koko ini melanjutkan, belum lagi kewenangan penindakan di lapangan yang masih ada peran kepolisian. Sementara di beberapa negara maju otoritas tersebut sudah berada di bawah satu kementerian.
Sebabnya, dia berpendapat bahwa sebaiknya masalah kelembagaan terlebih dahulu harus dipecahkan. Dia mengatakan, dengan begitu pelaku usaha dalam hal ini pengusaha truk maupun pemilik barang tidak akan bingung.
"Kalau sudah tidak bingung, edukasi terkait Zero ODOL akan lebih mudah nantinya," katanya.