Sukses

Awas, Panasnya Suhu Politik 2023 Picu Potensi Perang Dunia Finansial

suhu politik yang naik lantaran sejumlah negara bersiap menghadapi pemilu, memicu potensi terjadinya perang dunia finansial 2023.

Liputan6.com, Jakarta Pergolakan geopolitik berbagai negara dunia diprediksi akan semakin memanas pada 2023. Ditambah suhu politik yang naik lantaran sejumlah negara bersiap menghadapi pemilu, memicu potensi terjadinya perang dunia finansial 2023.

Guru Besar Emeritus Universitas Pertahanan, AM Hendropriyono, mencatat suatu kejadian besar dalam aspek geopolitik tahun lalu adalah perang proxy antara Ukraina dengan Rusia. Perang Rusia-Ukraina secara fisik militer yang menjadi perang berlarut tersebut berimbas pada inflasi 10 persen, bahkan ada yang di atas 20 persen.

Ditambah lagi dengan terjadinya krisis terhadap pasokan energi di Uni Eropa. Itu membuat nilai tukar mata uang Euro dan Poundsterling telah turun sampai nyaris setara dengan dolar AS.

Diikuti oleh jatuhnya bitcoin 75 persen, dan semua jenis uang kripto yang nilainya turun rata-rata dua pertiga.

"Perang berlarut yang bersifat hibrida hampir berlalu, dan sekarang semakin condong menjadi perang dunia finansial yang menyerang dominasi AS, menyengsarakan Eropa, dan telah mengakibatkan kesulitan bagi hampir semua negara di dunia," ujar Hendropriyono, Kamis (12/1/2023).

Kekisruhan itu tergambar pada situasi di Eropa sejak pertengahan 2022 telah menimbulkan frustrasi. Sehingga dalam waktu 2 bulan sudah 3 orang Perdana Menteri Inggris yang mengundurkan diri pasca wafatnya Ratu Elizabeth II.

Hendropriyono mengatakan, sejumlah analisa menilai, negara di belahan bumi wilayah selatan tengah galau terhadap pembekuan kolektif secara institusional kepada Rusia yang merupakan anggota G20. Pembekuan serupa juga dapat terjadi pada siapa saja dengan sewenang-wenang tanpa hukum internasional yang adil.

 

2 dari 2 halaman

Pelanggaran Etika

Menurut dia, perang merupakan bentuk pelanggaran etika universal. Namun, perang antar bangsa selalu terjadi akibat hukum internasional bukan merupakan hukum sebenarnya.

"Hukum tersebut tidak dibentuk oleh sesuatu Badan Legislatif Internasional. Sehingga tidak dapat dipaksakan untuk ditaati oleh para belligrents," kata dia.

Dikatakan Hendropriyono, ketidaktaatan negara-negara non-barat disebabkan penegakkannya tergantung pada satu kekuatan adikuasa yang pragmatik. Sehingga kerapkali dinilai sebagai hukum rimba yang tidak mendatangkan rasa keadilan.

"Perdamaian di Eropa kini hanya mungkin diharapkan jika keseimbangan daya tempur yang saling berhadapan tercapai, yaitu bilamana Ukraina didukung penuh oleh Amerika Serikat (AS) dan NATO atau bangsa Barat, melawan Rusia yang sendirian tanpa adanya bantuan militer dari China," tuturnya.