Sukses

Survei: Cuma 2 dari 5 Orang yang Percaya Punya Masa Depan Ekonomi Lebih Baik

Edelman menemukan bahwa pesimisme ekonomi berada pada titik tertinggi di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang.

Liputan6.com, Jakarta - Survei global terbaru yang dilakukan oleh The Edelman Trust Barometer mengungkapkan hanya dua dari lima orang yang percaya keluarga mereka akan memiliki masa depan ekonomi yang lebih baik.

Sebagai informasi, survei Edelman Trust Barometer menerbitkan survei terhadap lebih dari 32.000 responden di 28 negara yang diwawancarai dari 1 November hingga 28 November 2022 lalu.

Mengutip US News, Senin (16/1/2023) Edelman yang selama lebih dari dua dekade telah mensurvei ribuan orang di berbagai negara, menemukan bahwa pesimisme ekonomi berada pada titik tertinggi di negara ekonomi top dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang.

Temuan itu semakin memperkuat gambaran bagaimana masyarakat telah terdampak oleh pandemi dan lonjakan inflasi.

Edelman mengungkapkan, rumah tangga berpendapatan tinggi secara luas masih mempercayai institusi seperti pemerintah, bisnis, media dan LSM. Tapi keterasingan marak terjadi di antara kelompok berpenghasilan rendah.

"Ini benar-benar menunjukkan perpecahan kelas massa lagi," kata CEO Edelman Trust Barometer, Richard Edelman.

Perusahaannya mencatat, secara global, hanya 40 persen responden yang merespon setuju bahwa "kehidupan mereka akan lebih baik dalam lima tahun" dibandingkan dibandingkan 50 persen responden yang tercatat tahun sebelumnya. 

Angka terendah berada di negara maju yakni Amerika Serikat 36 persen, Inggris 23 persen, Jerman 15 persen dan Jepang hanya 9 persen.

Sementara itu, angka tertinggi berada di China - 65 persen meskipun ada gangguan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan nol Covid-19 yang sekarang sudah dilonggarkan.

2 dari 4 halaman

Perlunya Kontribusi dari Pengusaha

Sementara Indeks Kepercayaan Edelman mencatat tingkat kepercayaan rata-rata 63 persen di institusi utama di antara responden AS berpenghasilan tinggi, angka itu turun menjadi hanya 40 persen di antara kelompok berpenghasilan rendah. Divergensi berbasis pendapatan serupa juga terjadi di Arab Saudi, China, Jepang, dan Uni Emirat Arab.

Edelman mengungkapkan, responden dengan selisih enam banding satu ingin bisnis lebih terlibat dalam masalah mulai dari pelatihan ulang hingga perubahan iklim dan menyarankan masalah ini harus mendorong mereka untuk menepis tuduhan adanya kapitalisme terbangun.

"Menurut saya, data kami memberikan banyak amunisi kepada para CEO yang menyadari bahwa bisnis harus menjadi kekuatan penting dalam masalah sosial," katanya.

3 dari 4 halaman

IMF Bilang Ekonomi Global Bisa Rugi hingga 7 Persen, Ini Penyebabnya!

Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan peringatan terkait risiko fragmentasi pada ekonomi global. Lembaga keuangan dunia ini, dalam catatan terbarunya mengingatkan bahwa fragmentasi yang parah setelah beberapa dekade peningkatan integrasi ekonomi dapat mengurangi hasil ekonomi global hingga 7 persen.

IMF juga menyebut, kerugian fragmentasi dapat mencapai 8-12 persen di beberapa negara, jika teknologi juga dipisahkan.

Dikutip dari Channel News Asia, Senin (16/1/2023), Badan itu mengungkapkan, bahkan fragmentasi yang terbatas dapat memangkas 0,2 persen dari PDB global, tetapi diperlukan lebih banyak upaya untuk menilai perkiraan biaya sistem moneter internasional dan jaring pengaman keuangan global (GFSN).

Selain itu, arus barang dan modal global juga telah mendatar setelah krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, dan lonjakan pembatasan perdagangan yang terlihat di tahun-tahun berikutnya.

"Pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina semakin menguji hubungan internasional dan meningkatkan skeptisisme tentang manfaat globalisasi," tulis laporan IMF.

IMF melihat bahwa memperdalam hubungan perdagangan telah menghasilkan pengurangan besar dalam kemiskinan global selama bertahun-tahun, sekaligus menguntungkan konsumen berpenghasilan rendah di negara maju melalui harga yang lebih rendah.

"(Pengurangan hubungan perdagangan) akan berdampak paling buruk bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan konsumen yang kurang mampu di ekonomi maju," katanya.

Berkurangnya arus modal juga berisiko mengurangi investasi asing secara langsung, sementara penurunan kerjasama internasional akan menimbulkan risiko terhadap penyediaan barang publik global yang vital.

4 dari 4 halaman

Pasar Negara Berkembang Cenderung Paling Berisiko

IMF membeberkan, studi yang ada menunjukkan bahwa semakin dalam fragmentasi, semakin dalam biayanya, dengan pemisahan teknologi secara signifikan memperbesar kerugian dari pembatasan perdagangan.

Badan internasional itu mencatat, ekonomi di pasar negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah cenderung paling berisiko karena ekonomi global bergeser lebih banyak ke "regionalisasi keuangan" dan sistem pembayaran global yang terfragmentasi.

"Dengan pembagian risiko internasional yang lebih sedikit, (fragmentasi ekonomi global) dapat menyebabkan volatilitas ekonomi makro yang lebih tinggi, krisis yang lebih parah, dan tekanan yang lebih besar pada penyangga nasional," katanya.

Hal ini juga dapat melemahkan kemampuan komunitas global untuk mendukung negara-negara yang mengalami krisis dan mempersulit penyelesaian krisis utang negara di masa depan, ungkap IMF.