Liputan6.com, Jakarta Sejak terjadi pandemi Covid-19, angka pengangguran di Indonesia naik menjadi 7,2 persen di tahun 2021. Namun dalam waktu satu tahun pemerintah telah berhasil menurunkan angka pengangguran ke level 5,82 persen atau sekitar 8,4 juta orang.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengaku menurunkan angka pengangguran di Tanah Air tidak mudah. Sebab sekarang tantangannya yakni angkatan kerja merasa kehilangan harapan untuk bekerja.
Baca Juga
"Tantangan hopeless of job cukup tinggi. Mereka sudah tidak punya harapan lagi," kata Ida dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda 2023 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1).
Advertisement
Dia menuturkan sepertiga pengangguran di Indonesia sekarang ini berada dalam fase tidak memiliki harapan untuk bisa bekerja. ""Dari 8,4 juta pengangguran, 33,45 persen mengakami hopeless of job," kata dia.
Artinya, lanjut Ida, sebanyak 2,8 juta pengangguran terjebak dalam hopeless of job. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar mereka masih berpendidikan rendah. "2,8 juta pengangguran mengalami situasi tersebut. Itu 76,96 persen berpendidikan rendah," kata dia.
Sehingga tingkat pendidikan rendah ini terbukti menjadi penyebab para angkatan kerja tidak memiliki harapan mendapatkan pekerjaan yang layak. Artinya mereka kehilangan harapan untuk bersaing di pasar kerja. "Ini mengindikasikan mereka kehilangan harapan memiliki pekerjaan karena tingkat pendidikan tidak mampu menyiapkan mereka untuk masuk di pasark kerja," kata dia.
"Baik pendidikan yang rendah termasuk miskinnya kompetensi mereka. Jadi berpendidikan rendah ini ditambah tingkat kompetensi rendah," pungkas Ida.
Â
Â
Gelombang PHK Landa Indonesia, Bank Dunia Bongkar Penyebabnya
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab menanggapi isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor industri Indonesia.
"Yang kami lihat beberapa sektor terdampak negatif, salah satu yang kami dengar adalah sektor tekstil mengalami kelambanan permintaan eksternal," kata Habib Rab, dalam konferensi pers Indonesia Economic Prospects (IEP) Edisi Desember 2022 di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
"Bukan hanya permintaan eksternal, tetapi permintaan domestik di sektor ini juga menurun - sebagian terkait dengan kenaikan harga," sambungnya.
Selain tekstil Habib Rab juga melihat fenomena PHK besar-besaran di sektor digital, yang didorong oleh berubahnya pola konsumsi masyarakat sejak aktivitas ekonomi terbuka kembali.
"Ada tantangan cyclical, meskipun ekonomi tumbuh cepat, ada beberapa yang mengalami perlambanan.Tetapi jika melihat angka agregat pengangguran, mereka mendekati angka pra pandemi dari Agustus atau September," papar Habib.
Dia pun mengakui beragamnya situasi ekonomi di tiap negara karena ketidakpastian global, di mana ada ekonomi yang tumbuh, sementara ada juga yang mengalami kontraksi.
Seperti diketahui, PHK massal terjadi di sejumlah perusahaan di Indonesia salah satunya di sektor teknologi digital. Salah satunya Ruangguru yang melakukan PHK terhadap ratusan karyawannya, juga 1.300 karyawan yang bernasib serupa GoTo.
Advertisement
Menaker: yang Nganggur Kebanyakan di Kota Tapi Kemiskinan Lebih Banyak di Desa
Kabar gembira, angka pengangguran Indonesia sudah turun di akhir 2022 jika dibandingkan dengan kondisi saat pandemi atau di di awal 2020. Pandemi Covid-19 membuat angka penganguran di Indonesia naik ke level 7,2 persen di tahun 2021.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan, rasio jumlah pengangguran di Indonesia telah turun menjadi 5,82 persen di 2022.
"Alhamdulillah karena sinergitas yang bisa dibangun, angka pengangguran turun jadi 5,82 persen. Turun memang tapi belum bisa mengembalikan sebagaimana sebelum pandemi (5,2 persen)," kata Ida Fauziyah dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda 2023 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023).
Sayangnya, tingkat pengangguran ini dominasi oleh kelompok usia muda yang telah menyelesaikan pendidikan SMA, SMK, Diploma hingga S1. Artinya angkatan kerja yang terserap ini mereka yang pendidikannya hanya tamatan SMP ke bawah.
"Ironi yang bekerja adalah saudara-saudara kita yang tingkat pendidikannya SMP ke bawah," kata dia.
"Sementara yang nganggur didominasi yang tingkat pendidikannya lebih baik SMA, SMK, Diploma dan S1," sambung Ida.
Di sisi lain, jika dilihat berdasarkan wilayah perkotaan dan pedesaan, terjadi paradoks. Kondisinya tidak linear dengan kondisi kemiskinan di pedesaan.
"Yang nganggur lebih banyak di kota tapi kemiskinan lebih banyak di desa," kata Ida.
Hal ini menunjukkan jumlah orang yang bekerja di desa tidak berbanding lurus dengan pendapatannya. Sehingga angka kemiskinannya di pedesaan tetap masih tinggi.
"Jadi yang bekerja di desa tidak berbanding lurus dengan pendapatannya yang baik sehingga angka kemiskinannya tinggi," pungkasnya.
Reporter:Â Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com