Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah membahas aturan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di Ibu Kota. Aturan ini rencananya tidak hanya berlaku untuk mobil saja, tapi juga motor hingga ojek online (ojol).
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menilai ojol tak kebal ERP lantaran moda tersebut jadi salah satu penyumbang angka inflasi tinggi.
"Ojol itu terlalu banyak buat inflasinya tinggi. Terlalu banyak ojol inflasi Indonesia makin tinggi," kata Djoko kepada Liputan6.com, Selasa (17/1/2023).
Advertisement
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022, inflasi tarif ojol naik empat kali lipat menjadi 5,25 persen secara tahunan. Hal ini sejalan dengan kenaikan tarif akibat penyesuaian harga BBM.
Inflasi ojol secara tahunan pada September 2022 melonjak signifikan dibandingkan Agustus 2022 yang hanya 1,28 persen. Inflasi ini memberikan andil sebesar 0,03 persen.
Lebih lanjut, Djoko juga mempermasalahkan ojol yang tidak masuk kategori kendaraan umum berpelat kuning sesuai regulasi yang ada.
"Artinya persoalan ini ojol itu non angkutan umum. Disuruh pelat kuning enggak mau, dan jadi seenaknya saja. Aturannya begitu," ungkap dia.
Selain itu, ia berujar bahwa angkutan online juga telah memantik masyarakat jadi malas menggunakan transportasi umum yang sudah disediakan pemerintah.
"Kalau Jakarta kan angkutan umumnya sudah meng-cover 92 persen. Cuman orang kita malas jalan kaki. Kampung-kampung juga kan sudah dijamah oleh Jak Lingko, gratis, masih kurang apalagi? Sepeda motor itu memantik orang untuk jadi malas," sebutnya.
Sontek Singapura
Padahal, ia mengutip pernyataan orang yang membidani kelahiran road pricing di Singapura, yang menyebut kondisi umum di Jakarta pada 2010 saja jauh lebih baik dibanding Negeri Singa ketika mulai menerapkan aturan jalan berbayar di 1975.
Djoko lantas mengacu pada jenis pemungutan congestion charging di 42 titik pembayaran di Singapura. Tarif yang dikenakan antara USD 0,40-6,20, beroperasi mulai pukul 07.00 sampai 21.30 waktu setempat.
Lewat penerapan itu, Singapura meraih pemasukan bruto per tahun USD 65 juta, dan biaya operasional USD 12,25 juta (19 persen). Di sisi lain, terjadi penurunan lalu lintas pada peak dan off peak sebesar 25 persen.
"Tujuannya, biar orang angkutan umum. Kalau di Singapura juga kena ERP, taksi tuh bayar. Kalau di Jakarta kan tidak. Biar orang naik angkutan umum, angkutan umumnya gratis, tapi pelat kuning," tuturnya.
Advertisement
ERP Disebut Perlu Segera Diterapkan di Jakarta
Sebelumnya, Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menerapkan aturan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP).
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) aturan tengah dikaji oleh DPRD DKI Jakarta.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, ERP sudah seharusnya diterapkan di Ibukota. Sebab, negara maju seperti Singapura sudah menerapkan aturan tersebut.
“ERP itu kan salah satu bentuk dari push strategy karena salah satu kota itu kan punya strategi (mengatasi kemaceran) lah. Salah satunya mengenai ERP. Itu juga sudah saatnya juga untuk diterapkan dan sudah terlambat. Itu udah diterapin di beberapa kota di Singapura pakai ERP,” kata Djoko saat dihubungi, dikutip Kamis (12/1/2023).
Untuk diketahui, push strategy merupakan strategi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dibandingkan dengan aturan ganjil genap, menurut Djoko, ERP lebih efektif mengurangi kemacetan.
“Ketimbang ganjil genap, orang juga punya mobil dua. Plat nomornya bisa lebih dari satu sekarangnya. Tapi setidaknya kalau ERP itu dapat duit, enggak keluar duit. Duitnya bisa digunakan untuk subsidi angkutan umum gitu,” tambah Djoko.
Adapun Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengungkapkan, penerapan aturan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) masih dalam proses di DPRD. Heru mengatakan, masih ada tujuh tahapan yang akan dibahas secepatnya. Namun, ia tidak merinci tujuh tahapan yang dimaksud.
“ERP kan sekarang masih dalam proses di DPRD, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) namanya. Ituu masih ada beberapa tahapan, nanti dibahas di DPRD, diolah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Kira-kira itu, masih ada tujuh tahapan. Itu dibahas mulai tahun 2022 dan dilanjutkan mungkin 2023,” kata Heru saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Aturan
Nantinya, aturan tersebut bisa didetilkan dan dibahas menjadi Peraturan Gubernur (Pergub) atau Keputusan Gubernur (Kepgub). Adapun titik yang akan diberlakukan ERP, kata Heru, tidak jauh dari yang sudah ditentukan dalam Raperda.
“Setelah jadi Perda, turun, masih dibahas lagi. Bisa Pergub, bisa Kepgub. Setelah itu, baru proses lagi. Untuk proses bisnisnya, proses bisnisnya masih pembahasan. Nanti siapa yang mengelola, badan usahanya apa, itu juga dibahas dengan DPRD. Baru tahapan berikutnya mengenai titiknya di mana saja, walaupun kita sudah tahu, titiknya tidak jauh dari yang sekarang,” jelas Heru.
Terkait tarif, Heru menyebut bahwa pembahasannya akan dibicarakan dengan pemerintah pusat.
“Berikutnya adalah tarif. Tarif saya tidak menyampaikan tapi masih perlu pembahasan dengan tingkat pusat. Ya tentunya jadwal itu di DPRD, mungkin mudah-mudahan bisa dibahas secepatnya,” ujar Heru.
Reporter: Lydia Fransisca/Merdeka.com
Advertisement