Sukses

Dihantui Tekanan, Intip Proyeksi Ekonomi Indonesia vs Dunia di 2023

Indonesia dinilai telah menempuh masa pemulihan ekonomi yang solid pada 2022.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai telah menempuh masa pemulihan ekonomi yang solid pada 2022. Itu disertai dengan surplus ganda di sisi fiskal dan transaksi berjalan. Salah satu tandanya, nilai tukar rupiah tetap jadi salah satu yang paling tangguh dibandingkan mata uang lainnya, meski terdepresiasi sebesar 8,5 persen.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 bps menjadi 5,50 persen, sebagai pengganti lonjakan inflasi dan kenaikan suku bunga secara global.

Menghadapi situasi tersebut, PT Schroder Investment Management Indonesia dalam rilis Outlook Makro 2023 menilai, harga komoditas yang kuat jadi salah satu pendorong utama ekonomi Indonesia pada 2022, seiring dengan pemulihan konsumsi swasta dan investasi.

Itu berkebalikan dengan posisi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, yang masih terjerumus dalam konflik ekonomi dan geopolitik hingga 2023 ini.

"Economist global kami memperkirakan pertumbuhan PDB global 2023 sebesar 1,3 persen YoY setelah serangkaian downgrades. Karena kami memperkirakan ekonomi utama seperti AS, Zona Euro, serta China akan terus menghadapi tantangan di tahun baru," tulis Schroder.

Meskipun gejolak inflasi di AS perlahan sedikit mereda, dampak dari kenaikan suku bunga The Fed yang agresif telah menekan ekonomi AS. Schroder melihat PHK dan klaim pengangguran naik menjelang akhir 2022. Sementara dampak keseluruhan dari keseluruhan makro mulai tercermin dalam pendapatan perusahaan.

"Meskipun resesi AS masih dipertanyakan, kami berpikir bahwa perekonomian terbesar di dunia ini akan menghadapi perlambatan ekonomi yang besar sebelum melihat The Fed mulai melonggarkan, atau setidaknya mempertahankan suku bunga kebijakannya menjelang akhir tahun 2023," sebut Schroder.

"Ekonom global kami memperkirakan suku bunga The Fed sebesar puncaknya di 4,50-4,75 persen di kuartal I 2023, sebelum turun menjadi 3,50 persen pada akhir tahun 2023," sambungnya.

 

2 dari 4 halaman

Tekanan Terbesar

Di sisi lain, Eropa diprediksi akan menghadapi tekanan terbesar dengan risiko stagflasi akibat harga energi yang tinggi dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung dengan Rusia. ECB yang sebelumnya selalu dovish mengubah pandangannya, dan mulai menaikkan suku bunga mengikuti The Fed dan BoE.

Sedangkan China tetap berada di ambang ketidakpastian, terutama seputar kebijakan zero Covid-19. Pergeseran politik baru-baru ini juga menyebabkan para ekonom mempertanyakan pertumbuhan ekonomi China pada 2023. Meskipun sisi baiknya, terlihat pelonggaran kebijakan terutama di sisi moneter di China.

Sementara itu, negara-negara berkembang lainnya kemungkinan besar akan menjadi pendorong utama ekonomi global, meskipun beberapa ekonomi yang lebih digerakkan oleh domestik seperti Indonesia dan Filipina cenderung tidak terlalu terpengaruh oleh perlambatan ekonomi global.

"Kami memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia akan tetap solid tahun depan meskipun sedikit lebih lambat dibandingkan tahun 2022. IMF memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2023 sebesar 5,0 persen yang masih menempatkannya sebagai yang terkuat tahun depan, hanya di bawah India dan Vietnam," kata Schroders.

 

3 dari 4 halaman

Penghalang Pertumbuhan

Schroder menilai, penghalang pertumbuhan yang paling mungkin terjadi tahun depan adalah dari net ekspor, karena diperkirakan harga komoditas akan mulai mengalami normalisasi di tahun 2023. Ambil contoh, harga patokan batu bara Newcastle telah turun di bawah USD 400 per ton, sementara harga jual ICI telah didiskon bahkan sejak tahun 2022.

"Oleh karena itu, kami memperkirakan ekspor akan turun. Namun, perlambatan ekonomi global juga dapat memperlambat impor, sehingga memberikan cushion bagi penurunan net exports," sebut Schroder.

Pemerintah RI sendiri pada 2023 berkomitmen memangkas defisit fiskal di bawah 3 persen dari PDB. Schroder lantas menilai, pengeluaran pemerintah juga harus diturunkan, atau setidaknya tetap sama. Itu bisa digunakan untuk mendukung konsumsi dan investasi.

"Namun, karena tahun politik, menurut kami belanja sosial dapat digunakan jika diperlukan untuk mendukung konsumsi. Pada saat yang sama, pemerintah juga berencana untuk mendorong sejumlah proyek sebelum masa jabatan presiden berakhir pada tahun 2024. Meskipun kami berpikir bahwa belanja sosial akan lebih diprioritaskan daripada infrastruktur jika situasinya membutuhkannya."

Dari sisi kebijakan, konsolidasi akan terus berlanjut di Indonesia. Berdasar APBN 2023, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 2,9 persen dari PDB pada tahun 2023 dengan pertumbuhan pendapatan yoy yang relatif flat dan sedikit penurunan belanja.

 

4 dari 4 halaman

Penerimaan Pajak

Karena penerimaan pajak akan berasal dari basis yang tinggi, pemerintah memperkirakan pertumbuhan yang lebih lambat sebesar 4,8 persen yoy pada tahun 2023. Sementara penerimaan bukan pajak akan menurun sekitar 17 persen yoy pada tahun 2023 didorong oleh harga komoditas yang lebih rendah.

"Di sisi pengeluaran, menurut kami pemerintah akan lebih fokus pada belanja sosial untuk mendukung konsumsi serta mendorong proyek-proyek terakhir sebelum masa jabatan presiden berakhir pada tahun 2024. Pengeluaran terkait kesehatan akan terus dipotong karena kita sekarang sudah berada dalam tahap endemi covid."

"Dari sisi transaksi berjalan atau current account, kami yakin normalisasi harga komoditas akan mengembalikan posisi defisit. Meskipun kami percaya defisit tidak akan sebesar sebelum covid sekitar 2,5-3,0 persen karena impor kemungkinan akan tetap tertekan oleh perlambatan ekonomi global sementara normalisasi harga komoditas akan lebih progresif."

Kendati begitu, transisi dari twin surplus kembali ke twin deficit dapat menimbulkan risiko terhadap Rupiah pada tahun 2023. USD yang lebih kuat dan net capital account outflow, yang didorong oleh pasar obligasi, merupakan penyebab utama depresiasi Rupiah menjelang akhir tahun 2022.

"Oleh karena itu , kami menilai Bank Indonesia akan tetap waspada dan terus menaikkan suku bunga kebijakannya sesuai kebutuhan. Meskipun jika the Fed mulai mengurangi kenaikan suku bunga dan inflasi Indonesia tidak seburuk yang diantisipasi, kami berpikir bahwa Bank Indonesia akan menyesuaikan kebijakannya," tutup Schroder.