Sukses

Bappebti Bakal Bentuk Harga Acuan Komoditas, Terutama CPO

.Bappebti hampir merampungkan price reference atau harga acuan untuk harga acuan komoditas.

Liputan6.com, Jakarta - Plt Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Didid Noordiatmoko mengatakan pihaknya akan segera membentuk harga acuan untuk komoditas. 

Sejak dibentuknya Undang-undang Nomor 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Indonesia belum memiliki acuan harga, padahal telah diakui sebagai penghasil terbesar di dunia beberapa jenis komoditas tertentu. 

Didid menjelaskan, Price Reference atau harga acuan sudah masuk dalam rapat kerja Bappebti dan sudah mendapat berbagai masukan dari berbagai pihak seperti Dirjen Perdagangan Luar Negeri dan Dalam Negeri, serta Kementerian Perdagangan. 

"Saat ini kami sudah hampir selesai roadmap pembentukan Price Reference sekitar  60 hingga 70 persen. Tentunya, dengan adanya masukan dari berbagai pihak akan kami perbaiki,” ujar Didid, dalam penutupan Rapat Kerja Bappebti, Jumat (20/1/2023). 

Didid berharap, penyusunan peta jalan pembentukan harga acuan ini diharapkan dapat rampung dalam waktu dua minggu ke depan. 

"Kami pertama menyusun roadmap yang diharapkan dapat selesai dua minggu ke depan. Ketika selesai bukan berarti langsung bisa dijalankan, kami harus koordinasi dengan berbagai pihak lainnya dulu,” lanjut Didid. 

Utamakan Komoditas CPO

Berdasarkan mandat Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan komoditas pertama yang harus memiliki harga acuan adalah CPO. 

"Indonesia memang memiliki beberapa komoditas unggulan seperti karet dan kopi, tetapi Menteri memberi arahan untuk CPO sebagai komoditas pertama baru komoditas lainnya,” tutur Didid. 

Selain membuat harga acuan untuk komoditas, Didid optimistis pihaknya bisa mendaftarkan CPO dalam bursa perdagangan pada Juni 2023 atau paling lambat pada Mei 2023. 

"Jadi, pada Juni 2023 bukan harga acuan untuk CPO yang bakal meluncur, melainkan komoditas CPO yang masuk dalam bursa perdagangan. Ini yang jadi cikal bakal harga acuan untuk CPO, yaitu dengan masuknya CPO dalam bursa,” lanjut Didid. 

Membandingkan dengan negara tetangga, Didid menyebut Malaysia butuh waktu lima tahun untuk menetapkan harga acuan komoditas CPO. 

"Nantinya setelah CPO masuk bursa perdagangan di Indonesia, maka harga acuan CPO akan terbentuk, di mana penjual akan bertemu dengan pembeli. Selain itu, setelah CPO masuk bursa, nanti Dirjen Perdagangan Luar Negeri akan ikut mengawal kebutuhan ekspor,” pungkas Didid.

 

 

2 dari 3 halaman

Ogah Diatur Malaysia, Mendag Perintahkan Bappebti Bentuk Harga Acuan Sawit

Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan meminta Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk segera membentuk harga acuan sawit. Targetnya, bursa harga acuan itu bisa didirikan sebelum Juni 2023.

Pasalnya, harga acuan komoditas sawit semisal minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih berpatokan kepada Malaysia. Padahal, Mendag menegaskan, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia.

“Beberapa kali di sidang kabinet disinggung, masa kita ikutnya Malaysia. Yang punya sawit kita, masa ikutnya Malaysia?" kata Mendag di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Oleh karenanya, Ketua Umum PAN tersebut mendesak Bappebti untuk segera mendirikan bursa harga acuan sawit.

"Kalau bisa sebelum Juni ini kita tidak ngikut Kuala Lumpur lagi. Sawitnya banyakan kita, kok ngikutnya ke sana? Kalau enggak bisa juga ya Bappebti yang akan disalahkan," tegasnya.

Tak hanya sawit, Mendag juga ingin menerbitkan harga acuan komoditas lain yang jadi sumber kekayaan alam Indonesia, seperti karet, kopi, dan lada.

"Dengan segala kewenangan yang dimiliki, kalau bisa karet, CPO, kopi itu sudah bisa di kita. Di layar itu terpampang harga kopi dan lain-lain," ujar dia.

"Jadi kalau memungkinkan Juni (2023) sudah terpampang di layar ya, bahwa kita punya patokan harga. Jadi nanti Malaysia berbalik lihat ke Indonesia dulu, gantian," seru Mendag Zulkifli Hasan.

 

3 dari 3 halaman

Harga Referensi CPO dan Patokan Ekspor Terbaru

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali mengeluarkan harga referensi CPO atau produk minyak kelapa sawit untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola DanaPerkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPD-PKS) atau pungutan ekspor (PE).

Untuk periode 16–31 Januari 2023 tarid yang ditetapkan sebesar USD 920,57 per metrik ton. Nilai ini meningkat sebesar USD 61,61 atau 7,17 persen dari periode1—15 Januari 2023, yaitu sebesar USD 858,96/MT.

Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 16-31 Januari 2023.

“Saat ini harga referensi CPO mengalami peningkatan dan kembali menjauhi ambang batas sebesar USD 680/MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini, maka Pemerintah mengenakan bea keluar CPO sebesar USD 74/MT dan pungutan ekspor CPO sebesar USD 95/MT untuk periode 16—31 Januari 2023,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso dalam keterangannya.

Adapun besaran Bea keluar CPO periode 16─31 Januari 2023 merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.010/2022 sebesar USD 74/MT.

Sementara itu, pungutan ekspor CPO periode 16—31 Januari 2023 merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2022 sebesar USD 95/MT.  Nilai BK CPO dan PE CPO tersebut meningkat dari BK CPO dan PE CPO untuk periode 1—15 Januari 2023.

Peningkatan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya perubahan kebijakan biodiesel Indonesia dari B30 menjadi B35, penguatan mata uang ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat, dan penurunan produksi CPO karena musim hujan di Indonesia dan Malaysia.