Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan terkait kelebihan pasokan listrik karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Melihat ini, klausul penerapan power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bukan langkah tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit dan  dikhawatirkan bisa merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN).Â
Ekonom Drajad Wibowo menjelaskan saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan, hingga ahun 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).
Baca Juga
"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad.
Advertisement
Ia menjelaskan potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.
"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.
Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh.
Â
Sebaiknya Dihapus
Dengan struktur harga seperti itu, dia mempertanyakan skema power wheeling bisa membantu perkembangan EBT. Konsumer akhir jelas lebih memilih listrik batubara yang murah.
Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling. Solusinya adalah kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.
Drajad mengimbau sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.
"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," tutup Drajad.
Advertisement