Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengungkapkan dampak gagal bayar utang atau default akan dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat AS.
Seperti diketahui, Amerika Serikat pekan lalu telah mencapai ambang batas utang sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp 474,7 kuadriliun.
Baca Juga
Dilansir dari CNN Business, Rabu (24/1/2023) Yellen memperingatkan bahwa default bisa menjadi bencana besar, menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada ekonomi AS, mata pencaharian semua orang di Amerika dan stabilitas keuangan global.
Advertisement
"Jika (default) terjadi, biaya pinjaman kami akan meningkat dan setiap orang Amerika akan melihat biaya pinjaman mereka meningkat," sebutnya.
"Selain itu, kegagalan untuk melakukan pembayaran yang jatuh tempo, apakah itu pemegang obligasi atau penerima Jaminan Sosial atau militer kita, tidak diragukan lagi akan menyebabkan resesi ekonomi AS dan dapat menyebabkan krisis keuangan global," lanjut Yellen.
Yellen juga mengatakan, gagal bayar berisiko menggeser peran dolar sebagai mata uang cadangan yang digunakan dalam transaksi di seluruh dunia.
"Dan banyak orang di Amerika akan kehilangan pekerjaan dan tentunya biaya pinjaman mereka akan naik," sambung Menkeu AS.
Namun, tidak diketahui secara pasti nasib ekonomi AS jika gagal bayar terjadi.
"Kebenaran yang jujur adalah, tidak ada yang tahu," kata Michael Pugliese, wakil presiden dan ekonom bank korporasi dan investasi Wells Fargo.
Utang AS Sentuh Ambang Batas, Nilainya Capai Rp 474,7 Kuadriliun
Amerika Serikat telah mencapai ambang batas utangnya sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp. 474,7 kuadriliun (asumsi kurs Rp. 15.700 per dolar AS) pada Kamis, 19 Januari 2023.
Melansir CNN Business, Jumat (20/1/2023) surat dari Menteri Keuangan AS Janet Yellen kepada Ketua DPR Kevin McCarthy menyampaikan bahwa utang negara itu berada pada batas undang-undang sebesar USD 31,4 triliun.
Yellen mengungkapkan, pihaknya akan mengeluarkan sejumlah upaya untuk mencegah gagal bayar utang. Dia mengatakan langkah-langkah itu akan berlangsung hingga 5 Juni 2023.
Menkeu AS itu pun mengakui ada tantangan untuk memperkirakan berapa banyak utang yang harus dibayar pemerintah federal dalam mengawali pembayaran, dan berapa banyak pendapatan yang dibutuhkan dalam beberapa bulan ke depan.
"Saya dengan hormat mendesak Kongres untuk segera bertindak melindungi kepercayaan dan kehormatan penuh Amerika Serikat," tulisnya salam surat itu.
Adapun Direktur National Economic Council Brian Deese yang berulang kali meminta Kongres AS untuk menaikkan batas utang, memperingatkan risiko keruntuhan ekonomi yang dapat terjadi jika langkah itu tidak dilakukan.
"Ini tentang stabilitas ekonomi versus keruntuhan ekonomi," ujar Deese kepada Kaitlan Collins dalam segmen CNN This Morning.
Batas utang AS, yang merupakan jumlah maksimum yang dapat dipinjam oleh pemerintah federal untuk membiayai kewajiban yang telah disetujui oleh anggota parlemen dan presiden, terakhir kali dinaikkan pada Desember 2021.
Batas utang ini ditentukan lebih dari seabad lalu, dan menjadi cara Kongres AS untuk membatasi pertumbuhan pinjaman.
Advertisement
Utang Pemerintah Tembus Rp 7.733 Triliun, Mau Dilunasi Pakai Apa?
Sementara itu, utang Indonesia tercatat hingga Desember 2022 sebesar Rp 7.733,99 triliun, sehingga rasio utang pemerintah tersebut mencapai 39,57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, hal yang perlu menjadi perhatian adalah meningkatnya beban pembayaran bunga utang.
"Tentu yang perlu diperhatikan dari meningkatnya nominal utang ini adalah beban pembayaran bunga utang. Apalagi level dari porsi bunga utang terhadap total belanja pemerintah terus meningkat bahkan tahun 2023 lebih dari Rp 400 triliun dianggarkan untuk membayar bunga utang," kata Bhima kepada Liputan6.com, Senin (23/1/2023).
Selain itu, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah risiko akan semakin meningkat karena sebagian utang berbentuk valas dan mengandalkan pembelian dari investor asing.
Ditambah dengan situasi saat ini inflasi naik, tingkat suku bunga juga meningkat cukup agresif dan terjadi fluktuasi nilai tukar. Hal-hal tersebut akan membuat beban utang ini menyandera APBN, sehingga APBN dengan target penurunan tingkat defisit di 2023 di bawah 3 persen, akan mempersempit ruang belanja atau ruang fiskal untuk keperluan lain yang lebih mendesak.
"Akibatnya mungkin beberapa anggaran terpaksa harus dipangkas karena sebagian dialokasikan untuk membayar kewajiban bunga utang," ujarnya.
Menurutnya, dengan kondisi itu sebaiknya pemerintah mulai melakukan rasionalisasi terhadap belanja-belanja yang sifatnya belum mendesak seperti, pembangunan IKN, proyek-proyek yang sifatnya besar dari segi anggaran bisa ditunda dulu.
"Sebenarnya tidak bisa disediakan seluruhnya oleh APBN itu bisa ditunda dulu," ujarnya.
Rasio Pajak
Untuk mengantisipasi membengkaknya utang, Bhima menyarankan agar pemerintah bisa mendorong adanya pengurangan beban utang dengan para kreditur, salah satunya melalui skema Debt Service Suspension Initiative (DSSI) atau pun juga dengan skema pertukaran utang dengan lingkungan.
"Jadi, berapa proyek pernah dicoba beban utang berkurang tapi pemerintah punya komitmen untuk melindungi deforestasi, melindungi pencemaran dari misalnya asap batu bara. Jadi banyak cara bisa dikurangi beban hutang itu dengan cara-cara yang kreatif," ujarnya.
Namun, yang lebih penting lagi rasio pajak juga harus ditingkatkan, karena nominal utangnya naik untuk memperbesar kemampuan bayar utang, maka rasio pajak itu harus didorong lebih dari 12 persen.
"Ini yang menjadi PR bagaimana memajaki orang-orang super kaya dan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan windfall tax dari sektor komoditas yang bisa dilakukan dalam jangka pendek," pungkasnya.
Advertisement