Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta tidak memasukkan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan yang saat ini tengah dibahas dengan DPR.
Permintaan ini disampaikan sejumlah pihak melalui petisi ditujukan kepada Komisi VII DPR RI. Mereka meminta DPR mengawal agar skema ini tidak masuk dalam RUU EBT.
Petisi tersebut mengatasnamakan Warga Negara Indonesia yang diwakili antara lain Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS, Sofyano Zakaria - Pusat Studi Kebijakan Publik, Puskepi. Kemudian Ferdinan Hutahaean, Energy Watch Indonesia, EWI, Defiyan Cori sebagai Ekonom Konstitusi. Salamuddin Daeng, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, AEPI.
Advertisement
Selain itu, M. Kholid Syeirazi, Center for Energy Policy, CEP, Abra Talattov - Peneliti INDEF,. Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI, Dan Ali Achmudi Achyak - Center for Energy Security Studies, CESS.
Marwan Batubara mengatakan, petisi dibuat karena skema power wheeling dinilai kurang tepat, pasalnya skema tersebut akan menimbulkan permasalahan baru pada sektor kelistrikan nasional.
Jika skema ini disahkan di dalam UU EBT, maka produsen listrik swasta ( independent power producer/ IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.
Hal ini menyalahi konstitusi sebab dalam turunan Pasal 33 UUD 1945 yang tertuang dalam UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan, penyediaan listrik untuk kepentingan umum dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan diamanatkan dilakukan oleh PLN.
"Wewenang PLN ini merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara melalui BUMN," kata Marwan di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Marwan pun memandang skema power wheling akan merugikan negara sebab akan mengurangi kemampuan PLN untuk bertahan dari kondisi kelebihan pasokan listrik di Indonesia yang sangat besar dan tidak berimbang dengan konsumsi.
"Faktanya sarana itu (transmisi) dibangun dalam rangka menyalurkan listrik oleh PLN. Saat ini pasokan listrik PLN sangat berlebih, _over supply_ di Jawa itu sekitar 50 sampai 60 persen dan ini akan berlangsung mungkin 3 atau 4 tahun ke depan. Kemudian di Sumatera juga sekitar itu 40 sampai 50 persen," paparnya.
Marwan melanjutkan, pemanfaatan jaringan PLN oleh IPP EBT melalui skema power wheeling juga akan menimbulkan masalah pada sisi konsumen, harga listrik pembangkit berbasis EBT yang dibangun swasta tentu akan lebih mahal, hal ini tentu akan dibebankan ke konsumen. Saat ini pun pemerintah belum memiliki pengaturan yang jelas terkait skema tarif yang akan diterapkan.
"Pemerintah sendiri belum jelas, jangan sampai nanti dengan tarif transmisi numpang lewat infrastruktur PLN, kemudian tarif itu tidak jelas, tidak ada dasar perhitungan yang ilmiah dan objektif," tuturnya.
Menurut Marwan, saat ini pasokan listrik berbasis EBT dari PLN pun telah cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga tidak perlu peran swasta untuk menambah pasokannya.
Jika swasta tetap membangun pembangkit berbasis EBT tentu akan menambah beban keuangan PLN, melihat kondisi berlebih pasokan listrik yang terjadi saat ini. Pasalnya, ada skema take or pay yang memaksa PLN membayar listrik yang tidak terpakai.
Kondisi ini pun akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik, sehingga untuk meringankan beban tersebut berujung pada kenaikan tarif listrik atau menambah beban APBN.
"Nah ini masuk ke dalam biaya operasi PLN dengan masuknya biaya menjadi biaya operasi maka biaya pokok penyediaan listrik, itu akan naik kalau BPP-nya naik, tarif listrik juga naik seperti itu secara umum gambarannya," jelas dia.
Â
Sisi Aturan
Marwan mengungkapkan, atas banyaknya masalah yang akan ditimbulkan oleh penerapan skema power Wheeling maka sebaiknya pemerintah dan DPR tidak perlu lagi memaksa memasukan skema tersebut ke dalam draf RUU EBT, terlebih skema tersebut sebelumnya telah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi dari UU Ketenagalistrikan melalui Putusan No.001-021-022/2003.
Selanjutnya melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK pun memutuskan bahwa pola unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945.
Atas dasar keputusan MK tersebut, maka Peraturan Menteri ESDM No.1/2015 tentang Kerja sama Penyediaan Tenaga Listrik Dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik, setelah Putusan MK pada tanggal 14 Desember 2016 yang telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan serta peraturan lainnya yang sejenis, mestinya juga batal demi hukum dan konstitusi.
"Kalau merujuk pada putusan MK di tahun 2002 terhadap judicial Review undang-undang kelistrikan di mana saat itu sebetulnya dalam pasal 16-17 nomor 20 Tahun 2002 itu disebutkan bahwa skema _power wheling ini bertentangan dengan konstitusi. Artinya yang akan dimasukkan ini sebetulnya dulu sudah pernah ditolak oleh MK," tuturnya.
Untuk itu, meski dalam naskah akhir RUU EBET yang dikirimkan Pemerintah kepada DPR pada 29 November 2022, skema power wheeling sudah tidak lagi tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Namun dalam pembahasan lanjutan RUU beberapa minggu ke depan, berkembang informasi bahwa skema _power wheeling_ akan kembali dibahas dan masuk dalam UU EBT.
"Hal ini menjadi perhatian masyarakat dan harus dicegah. Kami di sini hadir untuk mengawal agar skema power wheeling tidak kembali dibahas dan masuk dalam UU EBT," pungkasnya.
Advertisement