Liputan6.com, Jakarta - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai kenaikan suku bunga acuan bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meski, penyesuaian suku bunga acuan ini juga mampu mengendalikan inflasi.
Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin mengungkapkan, langkah yang dilakukan sejumlah negara mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga bisa jadi tantangan pertumbuhan ekonomi. Itu jadi tantangan baru pasca ada ancaman stagflasi yang menyasar sejumlah negara di dunia.
Baca Juga
"Kemarin ada (ancaman) stagflasi, sekarang risikonya sudah sedikit bergeser, jadi inflasinya sudah sedikit terkendali tekanannya," kata dia dalam KAPj Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023, Rabu (25/1/2023).
Advertisement
"Tapi kemudian kita akan melihat bahwa respons kebijakan moneter yang sangat agresif di banyak negara untuk mengatasi inflasi yang sekarang akhirnya sudah menunjukkan hasilnya, cukup mereda itu, itu kemudian berdampak pada ekonomi yang melambat," sambungnya.
Rahadian menjelaskan, memang kebijakan semacam pengetatan suku bunga ini memiliki dampak yang cukup panjang. Dampaknya bisa berlangsung antara 2 kuartal hingga 1 tahun.
"Jadi kalau sekarang banyak negara terutama Amerika Serikat melakukan kebijakan moneter yang agresif, dampak ke ekonominya bisa kita rasakan 1 tahun kedepan," urainya.
Dia menyebut, melalui kebijakan ini, inflasi sudah berangsur menurun meski masih dalam posisi yang cukup tinggi. Seiring dengan pengetatan suku bunga yang dilakukan berbagai negara, termasuk Indonesia.
Â
Cukup Moderat
Lebih lanjut, Rahadian mengungkap kalau kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Indonesia sendiri masih cukup moderat. Dengan langkah terbaru, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, sepanjang 2022, BI sendiri sudah menaikkan sebesar 225 basis poin.
"Yang kalau dibandingkan dengan negara lain ini sebetulnya masih cukup moderat. Kita bisa berharap dari sisi pengetatan kebijaan suku bunga, dampaknya terhadap perekonomian domestik ini tidak terlalu besar," paparnya.
Ancaman lainnya yang membayangi adalah adanya dampak dari pandemi terhadap perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih.
"Dengan konteks tersebut, pandemi sudah berakhir, tapi scaring effect masih ada, tekanan inflasi dengan suku bunga berpotensi berdampak negatif ke perekonomian, kita melihat outlook pertumbuhan ekon global terus menurun," bebernya.
Â
Advertisement
Waspada Pembukaan Aktivitas China
China tengah membuka kembali aktivitasnya seperti biasa setelah menetapkan kebijakan zero covid. Upaya ini dinilai sebagian pihak dapat menggerakkan ekonomi China, dan berdampak positif bagi ekonomi global.
Kebijakan zero covid-19 sendiri dilakukan China dengan membatasi kegiatan masyarakatnya untuk menyetop penyebaran virus. Sayangnya, setelah dibuka kembali, tingkat kasus pun ikut melonjak.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin memandang hal itu perlu tetap diwaspadai. Jika lonjakan kasus bisa ditangani, maka dampaknya bisa positif terhadap ekonomi, namun jika tak bisa ditangani, maka akan berdampak negatif ke ekonomi.
"Setelah itu kasus covid melonjak tinggi termasuk kematiannya, banyak pihak memperkirakan pembukaan akan positif ke ekonomi global termasuk Indonesia, karena kita tahu ekonomi China ini besar tapi kita masih menunggu mungkin dalam 2-4 minggu kedepan seperti apa kenaikan kasus ini di China," paparnya dalam KAPj Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023, Rabu (25/1/2023).
Salah satu yang ditekankan oleh Rahadian adalah soal penanganan Covid-19 di China. Alasannya, ini kembali menentukan geliat ekonomi baik secara domestik China, maupun pengaruhnya terhadap ekonomi global.
"Karena kalau kemudian sistem kesehatannya itu gak mampu menampung kenaikan jumlah kasus yang besar, maka itu akan memiliki dampak yang negatif ke aktivitas ekonomi di China," ungkapnya.
Kendati begitu, penanganan covid-19 secara umum, kata dia, telah menunjukkan perbaikan di awal tahun 2023 ini. Sehingga, pertumbuhan ekonomi masih bisa diprediksi dengan baik.
"Secara umum, baik di global maupun Indonesia, kita sudah bisa menyampaikan bahwa pandemi sudah membaik, kita sudah bisa hidup dengan covid," kata dia.
Â
Risiko Berubah
Lebih lanjut, Ragadian menuturkan kalau tantangan ekonomi tak hany berdasar pada penanganan pandemi Covid-19. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi.
Adanya perang Rusia-Ukraina, ketegangan geopolitik China dan Taiwan, terhambatnya rantai pasok global, hingga kenaikan harga komoditas pangan dan energi jadi tantangan yang perlu dihadapi. Sehingga, tak dipungkiri adanya potensi resesi di banyak negara.
"Risikonya berubah dari pandemi kemudian berubah ke situasi ekonomi global. Dampak negatif pandemi belum kita tinggalkan, scarring effect masih terjadi baik di sektor rumah tangga maupun perushaaan. Perang di Ukraina masih berlangsung dan belum ada tanda akan berakhir," pungkasnya.
Advertisement