Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian Amerika Serikat tumbuh pada kecepatan yang lambat karena kekhawatiran resesi, tetapi berkinerja lebih baik dari yang diharapkan pada bulan-bulan terakhir tahun 2022.
Melansir Channel News Asia, Jumat (27/1/2023) Departemen Perdagangan mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi AS telah berjalan moderat karena bank sentral atau The Fed menaikkan suku bunga pinjaman hingga tujuh kali tahun lalu, dengan harapan mendinginkan permintaan dan mengekang biaya di tengah lonjakan inflasi.
Baca Juga
Negara ekonomi terbesar di dunia itu tumbuh 2,1 persen sepanjang tahun 2022, turun dari angka tahun 2021, menurut data Departemen Perdagangan.
Advertisement
Di kuartal terakhir 2022 produk domestik bruto AS tumbuh melampaui ekspektasi, sebesar 2,9 persen. "Peningkatan PDB riil pada tahun 2022 terutama mencerminkan peningkatan belanja konsumen, ekspor, dan bentuk investasi tertentu," demikian keterangan Departemen Perdagangan AS.
Presiden JAS oe Biden menyambut dengan baik tumbuhnya perekonomian, menyebutkan sebagai "berita yang sangat baik tentang ekonomi Amerika".
"Kita bergerak ke arah yang benar. Sekarang kita harus melindungi keuntungan itu ... yang dihasilkan oleh kebijakan kita," ujar Biden dalam sebuah pidato di Virginia.
Meski ekonomi AS berhasil tumbuh kuat pada kuartal keempat, ekonom dari Oxford Economics Oren Klachkin melihat hal itu belum tentu berlanjut pada awal 2023.
Adapun Rubeela Farooqi dari High Frequency Economics yang juga melhat pengeluaran rumah tangga dan investasi bisnis di AS masih berjalan lambat meski sudah bergerak positif.
Di tambah lagi, sektor perumahan sensitif terhadap terguncang karena kenaikan suku bunga The Fed membebani keterjangkauan.
"Ke depan, data baru-baru ini menunjukkan bahwa laju ekspansi dapat melambat tajam pada kuartal pertama, karena dampak dari kebijakan moneter yang ketat," beber Farooqi.
Utang Capai Rp 474,7 Kuadriliun, Ekonomi AS Terancam Kolaps
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengungkapkan dampak gagal bayar utang atau default akan dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat AS.
Seperti diketahui, Amerika Serikat pekan lalu telah mencapai ambang batas utang sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp 474,7 kuadriliun.
Dilansir dari CNN Business, Rabu (24/1/2023) Yellen memperingatkan bahwa default bisa menjadi bencana besar, menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada ekonomi AS, mata pencaharian semua orang di Amerika dan stabilitas keuangan global.
"Jika (default) terjadi, biaya pinjaman kami akan meningkat dan setiap orang Amerika akan melihat biaya pinjaman mereka meningkat," sebutnya.
"Selain itu, kegagalan untuk melakukan pembayaran yang jatuh tempo, apakah itu pemegang obligasi atau penerima Jaminan Sosial atau militer kita, tidak diragukan lagi akan menyebabkan resesi ekonomi AS dan dapat menyebabkan krisis keuangan global," lanjut Yellen.
Yellen juga mengatakan, gagal bayar berisiko menggeser peran dolar sebagai mata uang cadangan yang digunakan dalam transaksi di seluruh dunia.
"Dan banyak orang di Amerika akan kehilangan pekerjaan dan tentunya biaya pinjaman mereka akan naik," sambung Menkeu AS.
Namun, tidak diketahui secara pasti nasib ekonomi AS jika gagal bayar terjadi.
"Kebenaran yang jujur adalah, tidak ada yang tahu," kata Michael Pugliese, wakil presiden dan ekonom bank korporasi dan investasi Wells Fargo.
Advertisement
Utang AS Sentuh Ambang Batas, Nilainya Capai Rp 474,7 Kuadriliun
Amerika Serikat telah mencapai ambang batas utangnya sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp. 474,7 kuadriliun (asumsi kurs Rp. 15.700 per dolar AS) pada Kamis, 19 Januari 2023.
Melansir CNN Business, Jumat (20/1/2023) surat dari Menteri Keuangan AS Janet Yellen kepada Ketua DPR Kevin McCarthy menyampaikan bahwa utang negara itu berada pada batas undang-undang sebesar USD 31,4 triliun.
Yellen mengungkapkan, pihaknya akan mengeluarkan sejumlah upaya untuk mencegah gagal bayar utang. Dia mengatakan langkah-langkah itu akan berlangsung hingga 5 Juni 2023.
Menkeu AS itu pun mengakui ada tantangan untuk memperkirakan berapa banyak utang yang harus dibayar pemerintah federal dalam mengawali pembayaran, dan berapa banyak pendapatan yang dibutuhkan dalam beberapa bulan ke depan.
"Saya dengan hormat mendesak Kongres untuk segera bertindak melindungi kepercayaan dan kehormatan penuh Amerika Serikat," tulisnya salam surat itu.
Adapun Direktur National Economic Council Brian Deese yang berulang kali meminta Kongres AS untuk menaikkan batas utang, memperingatkan risiko keruntuhan ekonomi yang dapat terjadi jika langkah itu tidak dilakukan.
"Ini tentang stabilitas ekonomi versus keruntuhan ekonomi," ujar Deese kepada Kaitlan Collins dalam segmen CNN This Morning.
Batas utang AS, yang merupakan jumlah maksimum yang dapat dipinjam oleh pemerintah federal untuk membiayai kewajiban yang telah disetujui oleh anggota parlemen dan presiden, terakhir kali dinaikkan pada Desember 2021.
Batas utang ini ditentukan lebih dari seabad lalu, dan menjadi cara Kongres AS untuk membatasi pertumbuhan pinjaman.
Bank Dunia Prediksi Ekonomi AS Cuma Tumbuh 0,5 Persen, Terlemah Sejak 1970
Ekonomi Amerika Serikat (AS) sedang tidak baik-baik saja. Beberapa lembaga keuangan internasional termasuk Bank Dunia memprediksi ekonomi amerika bakal mengalami tekanan karena kenaikan suku bunga acuan dari Bank Sentral AS.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi AS hanya di angka 0,5 persen di 2023. Tentu saja angka ini sangat rendah dan di bawah prediksi sebelumnya.
"Pertumbuhan diproyeksikan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023, 1,9 poin persentase di bawah perkiraan sebelumnya," dikutip dari Laporan Proyeksi Ekonomi Global Edisi Januari 2023, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Rendahnya ekonomi di AS ini menjadi yang terlemah sejak tahun 1970. Bahkan lebih rendah dari kondisi ekonomi Negeri Paman Sam ini mengalami resesi.
"Kinerja terlemah di luar resesi resmi sejak 1970," tulis Bank Dunia.
Sementara itu dari sisi inflasi, diperkirakan tetap akan moderat tahun ini. Hal ini terjadi karena tenaga kerja melemah dan tekanan upah yang mereda.
Sebagaimana diketahui, kenaikan harga pangan dan energi di AS terjadi bersamaan dengan kondisi pasar tenaga kerja yang terus mengalami tekanan. Akibatnya inflasi terdorong ke level tertinggi multi-dekade pada tahun 2022.
Selain itu kondisi yang sama mendorong pengetatan kebijakan moneter tercepat dalam lebih dari 40 tahun. Aktivitas menyusut pada paruh pertama tahun 2022.
Permintaan domestik tetap lemah pada paruh kedua, dengan pelemahan khusus pada investasi residensial. Secara keseluruhan, pertumbuhan untuk tahun 2022 diperkirakan telah melambat menjadi 1,9 persen karena konsolidasi fiskal yang substansial ditambahkan ke hambatan kebijakan moneter.
Advertisement