Sukses

4 Penyakit yang Bikin Kantong BPJS Kesehatan Jebol

Empat penyakit ini termasuk dalam penyakit katastropik atau penyakit yang memerlukan perawatan medis lama dan biayanya juga tinggi sehingga menguras JKN yang dikelola BPJS Kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta - BPJS Kesehatan mencatat ada empat jenis penyakit yang menguras anggaran paling besar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Keempat penyakit itu adalah penyakit jantung, kanker, stroke dan penyakit ginjal.

Jenis penyakit tersebut termasuk dalam penyakit katastropik atau penyakit yang memerlukan perawatan medis lama dan biayanya juga tinggi.

"Penyakit-penyakit katastropik ini menyedot anggaran paling besar," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam Diskusi Publik dengan tema “Outlook JKN : Satu Dekade Jaminan Kesehatan Nasional, Sudahkah Sesuai Harapan?”, Senin (30/1/2023).

Adapun pada 2022, penyakit jantung yang paling besar menyedot anggaran JKN, dengan biaya pelayanan mencapai Rp 12,1 triliun dengan total 15.495.666 kasus.

Ternyata, pemanfaatan pelayanan penyakit jantung dalam program JKN ini paling banyak digunakan kelompok penerima bantuan iuran (PBI).

Kemudian diposisi kedua ada penyakit kanker, biaya pelayanannya mencapai Rp 4,5 triliun dengan total 3.147.895 kasus, dilanjutkan penyakit stroke biayanya menyedot Rp 3,2 triliun dengan 2.536.620 kasus. Penyakit gagal ginjal tercatat ada 1.322.798 kasus dengan biaya JKN sebesar Rp 2,1 triliun,

Tak hanya Jantung, kanker, stroke dan penyakit ginjal yang menyedot anggaran program JKN, penyakit lainnya yaitu cirrhosis hepatitis menyedot biaya Rp 330,1 miliar dengan 193.989 kasus.

Lalu penyakit haemophilia tercatat ada 116.767 kasus dengan biaya Rp 650,2 miliar, thalassemia 305.269 kasus dengan biaya Rp 614 miliar, dan leukemia 146.162 kasus dengan biaya Rp 428,6 miliar.

2 dari 3 halaman

Jatuh Bangun BPJS Kesehatan, Berurusan dengan Bank Gara-Gara Anggaran Defisit

Sebelumnya, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan memasuki usia 10 tahun. Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti menyampaikan bahwa BPJS pernah berurusan dengan perbankan agar rumah sakit - rumah sakit rekanan BPJS Kesehatan, dapat terbayar.

"Rumah sakit kita bayar, dan BPJS pernah kesulitan bayar dulu, akhirnya kita bank untuk bisa bayar (rumah sakit)," ujar Ali di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (30/1).

Ali menuturkan, dana yang didapat dari perbankan untuk membayar rumah sakit karena keuangan BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Bahkan sejak BPJS Kesehatan dibentuk, baru beberapa tahun belakangan ini mengalami surplus.

Ada dua faktor yang menyebabkan keuangan BPJS Kesehatan mengalami surplus yaitu faktor internal dan eksternal. Dari faktor internal, ucap Ali, BPJS Kesehatan melakukan terobosan besar-besaran, sekaligus mendayagunakan sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten.

Sementara pandangan Ali, faktor eksternal justru datang dari peserta BPJS Kesehatan. Dia menuturkan, masyarakat Indonesia umumnya menghindari tindakan atau terapi medis.

"Orang-orang Indonesia itu kalau ditanya sukanya negatif, kalau ditanya anda positif atau negatif ya lebih baik hasil periksanya negatif karena kalau positif menjadi persoalan," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Keuangan BPJS Kesehatan

Ali menambahkan, membaiknya keuangan BPJS Kesehatan, berdampak terhadap skema pembayaran terhadap rumah sakit rekanan BPJS Kesehatan. Agar cash flow rumah sakit terus berjalan, Ali mengatakan bahwa BPJS Kesehatan bahkan membayar uang muka bagi rumah sakit rekanan.

"Biar pelayanannya bagus, kita berikan uang muka. Dengan membaiknya keuangan tadi tentunya tantangan-tantangan berikutnya banyak sekali," ucapnya.

Sebelumnya, BPJS Kesehatan mencatatkan surplus aset neto dana jaminan sosial kesehatan Rp38,76 triliun di sepanjang 2021 lalu. Kondisi tersebut membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di mana lembaga ini mencatatkan defisit senilai Rp5,69 triliun pada 2020, dan defisit Rp51 triliun pada 2019.

Dengan capaian tersebut, BPJS Kesehatan sukses mempertahankan predikat Wajar Tanpa Modifikasi (WTM) untuk laporan keuangan 2021 dari akuntan publik.