Liputan6.com, Jakarta Krisis energi terus menghambat perekonomian Jerman, dengan produk domestik bruto (PDB) menyusut 0,2 persen pada kuartal keempat 2022 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, menurut angka awal yang dipublikasikan oleh Kantor Statistik Federal (Destatis) pada Senin (30/1/2023).
Dikutip dari Antara, Selasa (31/1/2023), setelah Jerman "berkinerja baik meski dalam kondisi sulit dalam tiga kuartal pertama," kinerja ekonomi Jerman itu sedikit menurun lagi, kata Destatis. Pengeluaran konsumsi pribadi, yang sebelumnya memberikan efek stabilisasi, juga mulai merosot.
Inflasi tinggi mengurangi pendapatan yang tersedia dari banyak konsumen, dengan satu dari tiga orang Jerman mengatakan mereka "sangat takut" tidak memiliki cukup uang untuk bertahan hidup, menurut Federasi Ritel Jerman (HDE), dikutip dari Xinhua.
Advertisement
Didorong oleh melonjaknya harga-harga energi, inflasi di Jerman mencapai puncaknya sebesar 10,4 persen pada Oktober, sebelum melambat menjadi 8,6 persen pada akhir tahun 2022.
Namun demikian, langkah-langkah inflasi untuk meringankan beban konsumen, seperti pembatasan harga energi, telah memberikan efek pendinginan pada harga.
Sebagai hasil dari langkah-langkah tersebut, pemerintah Jerman sekarang mengharapkan inflasi turun lebih tajam dari perkiraan baru-baru ini. Alih-alih turun menjadi 7,0 persen seperti prediksi sebelumnya, tingkat inflasi tahunan diperkirakan turun menjadi 6,0 persen pada 2023.
Pekan lalu, Menteri Urusan Ekonomi dan Aksi Iklim Jerman Robert Habeck mengeluarkan catatan positif ketika dia memprediksi negara itu akan terhindar dari resesi tahun ini, dengan perkiraan pertumbuhan 0,2 persen. Jerman telah membuat krisis energi "dapat dikelola," kata Habeck, tetapi dia telah memperingatkan bahwa ini belum berakhir.
Â
Dihantui Tekanan, Intip Proyeksi Ekonomi Indonesia vs Dunia di 2023
Indonesia dinilai telah menempuh masa pemulihan ekonomi yang solid pada 2022. Itu disertai dengan surplus ganda di sisi fiskal dan transaksi berjalan. Salah satu tandanya, nilai tukar rupiah tetap jadi salah satu yang paling tangguh dibandingkan mata uang lainnya, meski terdepresiasi sebesar 8,5 persen.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 bps menjadi 5,50 persen, sebagai pengganti lonjakan inflasi dan kenaikan suku bunga secara global.
Menghadapi situasi tersebut, PT Schroder Investment Management Indonesia dalam rilis Outlook Makro 2023 menilai, harga komoditas yang kuat jadi salah satu pendorong utama ekonomi Indonesia pada 2022, seiring dengan pemulihan konsumsi swasta dan investasi.
Itu berkebalikan dengan posisi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, yang masih terjerumus dalam konflik ekonomi dan geopolitik hingga 2023 ini.
"Economist global kami memperkirakan pertumbuhan PDB global 2023 sebesar 1,3 persen YoY setelah serangkaian downgrades. Karena kami memperkirakan ekonomi utama seperti AS, Zona Euro, serta China akan terus menghadapi tantangan di tahun baru," tulis Schroder.
Meskipun gejolak inflasi di AS perlahan sedikit mereda, dampak dari kenaikan suku bunga The Fed yang agresif telah menekan ekonomi AS. Schroder melihat PHK dan klaim pengangguran naik menjelang akhir 2022. Sementara dampak keseluruhan dari keseluruhan makro mulai tercermin dalam pendapatan perusahaan.
"Meskipun resesi AS masih dipertanyakan, kami berpikir bahwa perekonomian terbesar di dunia ini akan menghadapi perlambatan ekonomi yang besar sebelum melihat The Fed mulai melonggarkan, atau setidaknya mempertahankan suku bunga kebijakannya menjelang akhir tahun 2023," sebut Schroder.
"Ekonom global kami memperkirakan suku bunga The Fed sebesar puncaknya di 4,50-4,75 persen di kuartal I 2023, sebelum turun menjadi 3,50 persen pada akhir tahun 2023," sambungnya.
Advertisement
Tekanan Terbesar
Di sisi lain, Eropa diprediksi akan menghadapi tekanan terbesar dengan risiko stagflasi akibat harga energi yang tinggi dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung dengan Rusia. ECB yang sebelumnya selalu dovish mengubah pandangannya, dan mulai menaikkan suku bunga mengikuti The Fed dan BoE.
Sedangkan China tetap berada di ambang ketidakpastian, terutama seputar kebijakan zero Covid-19. Pergeseran politik baru-baru ini juga menyebabkan para ekonom mempertanyakan pertumbuhan ekonomi China pada 2023. Meskipun sisi baiknya, terlihat pelonggaran kebijakan terutama di sisi moneter di China.
Sementara itu, negara-negara berkembang lainnya kemungkinan besar akan menjadi pendorong utama ekonomi global, meskipun beberapa ekonomi yang lebih digerakkan oleh domestik seperti Indonesia dan Filipina cenderung tidak terlalu terpengaruh oleh perlambatan ekonomi global.
"Kami memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia akan tetap solid tahun depan meskipun sedikit lebih lambat dibandingkan tahun 2022. IMF memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2023 sebesar 5,0 persen yang masih menempatkannya sebagai yang terkuat tahun depan, hanya di bawah India dan Vietnam," kata Schroders.