Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, memaparkan rencana Indonesia membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara (Kaltara). Termasuk dengan membangun industri petrokimia dalam proyek Kawasan Industrial Park Indonesia (KIPI).
Menko Luhut meyakini, kehadiran kawasan industri tersebut bakal membuat Indonesia menyetop impor petrokimia untuk kebutuhan bahan baku bagi produk plastik, elektronik, hingga wadah kosmetik.
"Kita akan membangun industri petrokimia terbesar di sana. Jadi kita tidak akan impor petrokimia di 2027," sebut Menko Luhut di acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2023 di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Advertisement
Sebagai langkah awal, Presiden Joko Widodo disebutnya akan segera melakukan groundbreaking PLTA dengan kapasitas 1.400 MW di Kaltara untuk menunjang kegiatan industri hijau di sana.
"Jadi yang mau di-groundbreaking Presiden tuh tanggal 27 Februari (2023) adalah hydropower, 1.400 MW sekian," kata Luhut.
Adapun pembangunan PLTA 1.400 MW itu sejalan dengan rencana pemerintah membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara seluas 30 ribu ha. Itu diproyeksikan menjadi kawasan industri terintegrasi terbesar di dunia, dengan total kebutuhan investasi diperkirakan sebesar USD 132 miliar, atau setara Rp 1.848 triliun tersebut.
Sehingga, dengan memiliki kawasan energi hijau tersebut akan mampu meningkatkan pendapatan per kapita sekitar USD 10.000 dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen di tahun 2030.
"Kita sudah hampir semuanya di sana (Kaltara). Kita butuh hampir 2,4 juta ton minyak mentah per hari untuk mencapai target 2030," ujar Luhut Binsar Pandjaitan.
Ekonomi Sirkular Bikin Industri Petrokimia Efisien dan Berdaya Saing
Kementerian Perindustrian terus memacu pengembangan industri petrokimia agar bisa lebih berdaya saing global. Salah satu upaya strategis yang dijalankan seiring tren pasar saat ini adalah mengakselerasi industri pertrokimia menerapkan prinsip ekonomi sirkular.
“Pada industri petrokimia, implementasi ekonomi sirkular ini bisa melalui pendekatan dari konsep 5R, yakni reduce, reuse, recycle, refurbish, dan renew,” kata Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Ignatius Warsito di Jakarta, dikutip Minggu (23/10/2022).
Warsito menjelaskan, konsep reduce, yaitu mengurangi penggunaan material berlebih dan energi dengan melakukan efisiensi bahan baku dan energi. Kemudian, reuse adalah menggunakan bersama-sama aset yang ada secara berulang-ulang, antara lain dengan penggunaan sistem utilitas bersama dalam satu kawasan. Sedangkan, recycle itu menggunakan kembali material yang ada.
“Konsep refurbish adalah memanjangkan daur hidup material atau menggunakan material yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat, seperti mendorong penggunaan waste sebagai energi alternatif untuk industri. Selanjutnya, renew itu memproritaskan penggunaan energi dan material terbarukan,” paparnya.
Menurut Warsito, saat ini efisiensi energi sudah menjadi hal yang tidak asing di industri padat energi, seperti industri petrkomia.
“Dalam hal ini, untuk industri petrokimia, study case pada industri pupuk yang dapat dijadikan best practice, antara lain adalah upaya substitusi sumber panas dari high pressure steam (HPS) ke medium pressure steam (MPS) pada pengering saringan molekuler,” sebutnya.
Advertisement
Material Terbarukan
Selain itu, mengganti teknologi exhaust processing dari metode Cryogenic ke Permeable Membrane, melakukan optimasi gas buang (tail gas) sebagai bahan bakar, dan meningkatkan isolasi reformer atau reactor eksotermis.
Di sisi lain, tren sirkular ekonomi juga dapat berdampak pada berkurangnya permintaan “virgin polymer” global. Beberapa perusahaan sudah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan plastik (virgin).
“Hal ini mendorong industri petrokimia untuk mampu beradaptasi dan membangun strategi jangka panjang yang dapat mengintegrasikan bisnis model sirkular ekonomi ke dalam proses yang ada saat ini,” imbuhnya.
Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan energi dan material terbarukan. Dalam hal ini, industri petrokimia harus mampu menjawab permintaan pasar global terkait penggunaan energi terbarukan dan material yang ramah lingkungan.
“Misalnya, permintaan untuk mensubstitusi sebagian plastik konvensional dengan bioplastic yang dapat dikembangkan melalui R&D material yang mampu terdegradasi secara alami (bio-degradable),” tuturnya. Bahkan, penggunaan energi terbarukan dapat dilakukan di sektor industri petrokimia untuk mensubstitusi penggunaan listrik yang bersumber dari energi fosil.