Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar ke keuangan negara. Pemerintah harus menambah utang cukup banyak demi memberikan berbagai bantuan kepada masyarakat yang terdampak.Â
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bercerita, utang pemerintah mengalami kenaikan 13,1 persen selama 3 tahun. Kenaikan tersebut membuat rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 39,57 persen atau sebesar Rp 7.733,99 triliun.
Baca Juga
"Indonesia alami kenaikan APBN 13,1 persen dalam 3 tahun," kata Sri Mulyani saat memberikan Kuliah Umum di HUT Media Indonesia Ke-53, Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Advertisement
Namun hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Semua negara mengalami hal yang sama. Namun yang membedakannya, ada yang kenaikan utangnya terukur dan tidak terukur.
"Jadi dalam menghadapi pandemi ini semua negara mengalami defisit APBN, tetapi ada yang naiknya terukur dan naiknya ugal-ugalan. Itu yang kita lihat dalam 3 tahun terakhir," kata dia.
Akibatnya, rasio utang pemerintah mengalami peningkatan. Ada yang kenaikannya tinggi, normal hingga moderat. Sri Mulyani mengatakan dibandingkan negara lain, kenaikan rasio utang pemerintah masih dalam batas wajar dan aman.
"Kalau dilihat antara negara G20, emerging market, Indonesia memakai rasio utang yang proporsional dan dengan dampak positif," kata dia.
Keberhasilan ini kata Sri Mulyani terjadi berkat adanya Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang mengizinkan defisit APBN lebih dari 3 persen selama 3 tahun. Meskipun kebijakan ini menuai pro-kontra dan diragukan keberhasilannya kala itu, namun setelah 3 tahun pemerintah bisa konsisten menjaga pelebaran defisit APBN.
"APBN sebagai tools keuangan negara bisa dilakukan extra oridinary tapi tidak terus menurus. Defisit boleh di atas 3 persen tapi hanya 3 tahun," kata dia.
Setelah 3 tahun berlalu, Pemerintah pun berhasil menjalankan komitmennya. Saat tahun ketiga realisasi defisit APBN tahun 2022, telah kembali menjadi hanya 2,38 persen dari target 4,57 persen.
Utang Pemerintah Sentuh Rp 7.733 Triliun per Desember 2022
Sebelumnya, Kementerian Keuangan melaporkan total utang Indonesia sampai Desember 2022 sebesar Rp7.733,99 triliun. Sehingga rasio utang pemerintah tersebut mencapai 39,57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Sampai dengan akhir Desember 2022, posisi utang Pemerintah berada di angka Rp7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57 persen," dikutip dari Buku APBN KiTa Edisi Januari 2023, Jakarta, Kamis (19/1).
Rasio utang pemerintah pada Desember mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan posisi utang pada November 2022. Namun jika dibandingkan dengan Desember 2021 mengalami penurunan dari 40,47 persen (yoy) terhadap PDB.
Fluktuasi posisi utang pemerintah dipengaruhi adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan SBN, penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar. Meskipun demikian peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal.
"Rasio utang terhadap PDB dalam batass aman, wajar serta terkendali," tulis laporan yang sama.
Berdasarkan jenisnya, utang Pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang mencapai 88,53 persen atau Rp6.846,89 triliun dari seluruh komposisi utang akhir Desember 2022. Terdiri dari SBN Domestik sebesar R5.452,36 triliun dan dalam bentuk valuta asing sebesar Rp1.394,53 triliun.
Sementara itu sisanya yakni 11,47 persen atau R887,10 triliun dalam bentuk pinjaman. Terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp867,43 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp19,67 triliun.
Advertisement
Mata Uang
Di sisi lain, berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah), yaitu 70,75 persen.
Strategi menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri.
Sehingga strategi ini membuat porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga.
"Langkah ini menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri," katanya.
Sementara itu, kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh Perbankan dan diikuti Bank Indonesia. Sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen.
Di akhir 2021 kepemilikan SBN oleh investor asing tercatat 19,05 persen. Kemudian menurun rasionya menurun menjadi hanya 14,36 persen per akhir Desember 2022.