Sukses

Industri AMDK Diminta Cantumkan Peringatan Bahaya BPA

Industri air minum dalam kemasan (AMDK) dinilai wajib mencantumkan label peringatan bahaya bahan kimia Bisphenol A (BPA) yang terkandung dalam galon air minum isi ulang

Liputan6.com, Jakarta Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan industri air minum dalam kemasan (AMDK) wajib mencantumkan label peringatan bahaya bahan kimia Bisphenol A (BPA) yang terkandung dalam galon air minum isi ulang.

"Saya kira industri wajib hukumnya membuat peringatan itu (BPA)," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dikutip dari Antara, Minggu (5/2/2023).

Menurut dia, senyawa BPA banyak ditemukan di berbagai kemasan yang selama ini digunakan sehari-hari, terutama kemasan untuk menyeduh air susu dan wadah yang terbuat dari plastik.

Padahal, lanjutnya semua pakar kesehatan dunia yang telah melakukan riset sepakat bahwa BPA sangat berbahaya bagi usia rentan, yaitu bayi, balita, dan janin pada ibu hamil, bahkan BPA dinyatakan sebagai polusi yang tak terlihat.

Menurut Arist, Komnas PA terus mengawasi kemasan mengandung BPA yang merupakan, salah satu bentuk kekerasan yang tak bisa dilihat, yaitu kekerasan dalam bentuk merampas kesehatan anak.

Para pelaku usaha dan beberapa pihak terkait, tambahnya, sepertinya lebih memilih kepentingan industri dan membiarkan kekerasan tak terlihat ini terus terjadi.

Komnas PA menyayangkan beberapa kemasan plastik yang belum mencantumkan label peringatan bahaya BPA.

"Saya lihat iklan yang ada saat ini tidak menyebutkan bahwa kemasannya sudah bebas dari BPA, padahal itu wajib hukumnya oleh industri. Kalau tidak ada iklan seperti itu, maka labelnya (peringatan BPA) harus ada di dalam kemasan plastik," katanya dalam sebuah diskusi.

 

 

2 dari 4 halaman

Butuh Regulasi

Menurut dia, kemasan yang tidak dilabeli peringatan bahaya BPA dan dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu-ibu, pastinya berbahaya, oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang dapat mengatur label BPA pada pangan.

"Wajib hukumnya industri menggunakan label. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perka BPOM) No 31 Tahun 2018 sudah disusun dengan persetujuan DPR, dan sudah diserahkan ke Setneg untuk mendapatkan persetujuan Presiden. Regulasi itu lahir sebagai regulasi untuk melindungi para ibu dan anak-anak dari bahaya BPA," ujarnya.

Menurut dia, Komnas PA sudah menulis surat terbuka kepada Presiden agar peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan agar segera ditandatangani.

"Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kesehatan anak-anak dari bahaya senyawa kimia BPA yang banyak ditemukan di kemasan-kemasan plastik," katanya.

3 dari 4 halaman

Bisnis AMDK Galon Rugikan Konsumen, Benarkah?

Bisnis AMDK galon di Indonesia dinilai berpotensi merugikan konsumen. Pasalnya, konsumen tak pernah diberitahu, bahwa harga pertama pembelian galon yang dipatok sebesar rata-rata Rp55.000 per galon ibarat kontrak jangka panjang.

Konsumen diikat agar terpaksa beli produk satu merek, dan untuk pembelian selanjutnya mengeluarkan biaya antara Rp18.000-22.000 per galon. Jadi, transaksi harga pertama itu dianggap beli putus, dengan tidak adanya jaminan galon yang dibeli juga dalam kondisi baru.  

“Bisnis AMDK galon di Indonesia sangat tidak sehat dan merugikan konsumen. Sistem ketergantungan yang sengaja dibangun untuk mengikat konsumen melalui pembelian galon secara beli putus, justru membuat pengusaha tidak akan rugi," kata Pakar Ekonomi dan Bisnis Tjahjanto Budisatrio, dikutip Selasa (22/11/2022).

Pasalnya, konsumen yang sudah beli galon bekas pakai bakal terikat dan bergantung, serta tak bisa pindah ke lain galon, karena galon yang sudah dibeli tak bisa ditukar dengan galon merek lain.

“Faktanya, uang yang sudah tertanam tersebut sudah menjadi keuntungan tersendiri bagi produsen. Konsumen sudah bayar di muka, tapi kenyataannya yang didapatkan bukan galon baru, tapi galon lama,” katanya.

Tambahan keuntungan yang didapatkan produsen AMDK galon juga bisa didapat dari sisi lain. Misalnya, boleh jadi konsumen mendapatkan galon baru pada pembelian perdana, tapi begitu nantinya ditukar dengan galon yang sudah diisi kembali, justru mendapatkan galon yang diproduksi bertahun-tahun lalu.

“Misalnya, saya beli galon perdana pada 2022 senilai Rp 55 ribu, tapi pada saat menukar lagi malah dapat galon bekas pakai  yang diproduksi pada 2004, yang pada tahun itu harga perdananya mungkin hanya berkisar Rp 30 ribu, Jadi saya jelas dirugikan,” katanya.

“Bisa dibilang, sistem ini merugikan konsumen. Belum ada orang yang bicara soal ini, karena banyak yang belum sadar,” katanya.

4 dari 4 halaman

Praktik Bisnis

Sebelumnya, Budisatrio juga mengungkapkan praktik bisnis produsen AMDK galon yang merugikan konsumen ini dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh FMCG Insights bertema Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat.

“Persaingan usaha yang ada juga menjadi kurang sehat karena ada barriers to entry ke dalam pasar. Kalau ada barriers to entry, tentu saja sudah ada suatu rintangan, yang artinya pasar ini menjadi sudah tidak lagi perfect competition tapi imperfect competition," kata dia.

Sebagai contoh, kalau membeli galon A, dan ternyata galon A tidak ada di toko, pembeli harus membawa pulang galon kosong itu. Galon merek A tidak bisa ditukar dengan merek galon B. Dengan kata lain, ini adalah kontrak jangka panjang yang disadari atau tidak, terbentuk dari sistem yang ada saat ini. 

“Galon yang kita pegang tadi adalah investasi di awal, karena kita beli tapi tidak bisa ditukar dengan galon lain, padahal airnya yang di dalam galon sama saja,” katanya. “Jadi, otomatis di-lock-in (pelanggan dikunci). Switching cost-nya (biaya ganti galon ke merek lain) jadi mahal. Ada lock-in dan ada switching cost. Inilah yang membuat sebuah barrier.”

Budisatrio menegaskan, produsen yang berhasil melakukan lock-in secara kuantitas, maka otomatis menjadi sangat dominan dalam pasar. Ini menunjukkan bahwa di dalam struktur pasar AMDK, ada produsen galon polikarbonat  bekas pakai yang dominan dan sisanya adalah produsen lain yang mengikutinya.

“Sadar atau tidak sadar, setiap orang yang membeli galon itu awalnya sudah melakukan investasi, dan yang melakukan investasi adalah konsumennya,” katanya. “Konsumen sudah lock-in, mereka sudah menaruh uang untuk galon tersebut.”