Liputan6.com, Jakarta - Fitch Ratings kembali merevisi ramalannya terkait pertumbuhan ekonomi China di tahun ini, dengan negara itu yang sudah secara bertahap kembali beraktivitas normal pasca lockdown ketat Covid-19.
Revisi ini menandai kenaikan dari prediksi pertumbuhan ekonomi China sebelumnya sebesar 4,1 persen yang dikeluarkan pada Desember 2022.
Baca Juga
Melansir CNBC International, Kamis (9/2/2023) Fitch Ratings kini memprediksi ekonomi China akan tumbuh 5 persen di tahun 2023.
Advertisement
Prediksi terbarunya didasarkan pada "bukti bahwa konsumsi dan aktivitas ekonomi yang pulih lebih cepat dari yang diperkirakan semula" setelah pemerintah China mencabut sebagian besar pembatasan Covid-19, menandakan perpindahan dari kebijakan nol-Covid-19nya.
Selain itu, Fitch Ratings juga merunjuk pada indeks pembelian manajer (PMI) China terbaru untuk manufaktur dan jasa, ukuran aktivitas bisnis, yang menunjukkan pertumbuhan lebih lanjut.
"Rebound yang cepat dari guncangan Covid-19 berarti aktivitas di kuartal pertama 2023 akan lebih kuat dari perkiraan kami," kata tim ekonom Fitch Ratings yang dipimpin oleh Brian Coulton dalam rilisnya.
"Kami percaya menstabilkan pemulihan akan tetap menjadi fokus utama dalam waktu dekat, tetapi tidak mengantisipasi pelonggaran kebijakan makro yang agresif," tulis para ekonom itu.
Mereka bahkan melihat, produk domestik bruto China pada Desember 2022 lebih baik dari perkiraan Fitch Ratings.
Sementara banyak ekonom memperkirakan pemulihan yang didorong oleh konsumsi, Bank asal Swiss UBS melihat konsumen di China masih akan berhati hati dalam membuat pengeluaran karena tekanan kepercayaan.
UBS memperkirakan bahwa rumah tangga China memiliki total kelebihan tabungan senilai 4 triliun yuan hingga 4,6 triliun yuan (antara USD 590 miliar hingga USD 678 miliar), menurut kepala ekonomnya, China Wang Tao.
"Dengan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga yang masih membutuhkan pemulihan, kepercayaan konsumen mungkin tidak pulih sepenuhnya tetapi tetap berhati-hati," katanya dalam sebuah catatan.
"Kami pikir penghematan berlebih mungkin tidak akan dirilis sepenuhnya dan sangat cepat pada tahun 2023," tambah UBS.
China Buka Lagi Aktivitas Ekonomi, Indonesia Semringah tapi Waspada
Seperti diketahui, China telah membuka kembali aktivitasnya seperti biasa setelah menetapkan kebijakan zero covid-19. Upaya ini dinilai sebagian pihak dapat menggerakkan ekonomi China, dan berdampak positif bagi ekonomi global.
Kebijakan zero covid-19 sendiri dilakukan China dengan membatasi kegiatan masyarakatnya untuk menyetop penyebaran virus. Sayangnya, setelah dibuka kembali, tingkat kasus pun ikut melonjak.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin memandang hal itu perlu tetap diwaspadai. Jika lonjakan kasus bisa ditangani, maka dampaknya bisa positif terhadap ekonomi, namun jika tak bisa ditangani, maka akan berdampak negatif ke ekonomi.
"Setelah itu kasus covid melonjak tinggi termasuk kematiannya, banyak pihak memperkirakan pembukaan akan positif ke ekonomi global termasuk Indonesia, karena kita tahu ekonomi China ini besar tapi kita masih menunggu mungkin dalam 2-4 minggu kedepan seperti apa kenaikan kasus ini di China," paparnya dalam KAPj Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023, Rabu (25/1/2023).
Advertisement
Menunjukkan Perbaikan
Salah satu yang ditekankan oleh Rahadian adalah soal penanganan Covid-19 di China. Alasannya, ini kembali menentukan geliat ekonomi baik secara domestik China, maupun pengaruhnya terhadap ekonomi global.
"Karena kalau kemudian sistem kesehatannya itu gak mampu menampung kenaikan jumlah kasus yang besar, maka itu akan memiliki dampak yang negatif ke aktivitas ekonomi di China," ungkapnya.
Kendati begitu, penanganan covid-19 secara umum, kata dia, telah menunjukkan perbaikan di awal tahun 2023 ini. Sehingga, pertumbuhan ekonomi masih bisa diprediksi dengan baik.
"Secara umum, baik di global maupun Indonesia, kita sudah bisa menyampaikan bahwa pandemi sudah membaik, kita sudah bisa hidup dengan covid," kata dia.
Erick Thohir: Ekonomi Indonesia Masuk Top 2 di G20, Bahkan di Atas China
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memproyeksikan ekonomi Indonesia masih akan membukukan angka yang positif pada 2023. Dengan catatan, aktivitas ekonomi tidak sampai terlalu tercampur dengan tensi tinggi tahun politik.
Menurut Erick Thohir, dinamika ke depan bakal ditentukan dengan kebijakan pemerintah hari ini.
Di sisi lain, Indonesia juga tengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih stabil dibanding negara-negara dunia lainnya, khususnya anggota G20.
Erick menyebut, rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sampai 2027 sebesar 4,3 persen. Indonesia masih jauh berada di atas itu, dengan pertumbuhan 5 persen di 2023.
Sehingga, Indonesia menempati peringkat kedua negara anggota G20 dengan pertumbuhan ekonomi terbaik. Di bawah India yang menduduki ranking 1 dengan pertumbuhan 6,10 persen, dan di atas China (posisi ketiga) sebesar 4,40 persen.
"Kita perbandingan dengan negara-negara G20, itu posisi kita sudah sangat baik. Selain kita di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia, bahkan di G20 kita masuk top 2, di bawah India, bahkan di atas China," ujar Erick Thohir, Minggu (22/1/2023).
Berbeda dengan Indonesia, India dan China, ia mengatakan, negara-negara maju Uni Eropa semisal Inggris, Rusia dan Jerman pertumbuhannya diprediksi akan sangat lambat, bahkan berada di jurang resesi.
Erick lantas menegaskan, Indonesia sudah berada di jalur pertumbuhan ekonomi baik. Sehingga, ia ingin tren positif ini terjaga dari segala hal yang merusakkan, termasuk bumbu-bumbu politik.
"Kalau kita, pemerintah kita juga mengkotomi gara-gara partai politik, gara-gara pilihan, saya rasa itu bukan pemerintah yang baik. Pemerintah adalah, kita membuat policy untuk semua rakyat, tidak terjebak dari pilihan politiknya," tegasnya.
"Kalau kita terjebak dari situ, akhirnya kembali, kita tidak melihat pertumbuhan yang kita inginkan, bahkan policy-nya melengkung (turun drastis). Saya rasa tidak baik lah kalau seperti itu," pungkas Erick Thohir.
Advertisement