Sukses

Program B35 Hanya Dinikmati Pengusaha Sawit Raksasa, Benarkah?

Pemerintah dinilai tidak membedakan antara kepentingan pengusaha besar dan petani sawit dalam program B35

Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman, menanggapi tudingan dari petani sawit bahwa program B35 hanya menguntungkan bagi pengusaha sawit raksasa.  

Menurut dia, pemerintah tidak membedakan antara kepentingan pengusaha besar dan petani sawit. Termasuk dalam program B35 yang mencampur 35 persen komposisi minyak sawit dengan biodiesel, atau Solar.

"Kita jangan membeda-bedakan antara biodiesel sama peremejaan sawit rakyat (PSR). Berapa pun sekarang ini tadi yang diperlukan untuk PSR kita akan kasih, sepanjang itu bisa terserap," ujar Eddy saat ditemui di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Eddy pun menjelaskan alasan kenapa mayoritas dana pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) disalurkan untuk subsidi biodiesel. Pasalnya, uang itu disebutnya untuk membayar kompensasi untuk selisih harga Solar yang tetap di tengah kenaikan harga CPO. 

"Jadi alokasi anggaran BPBDPKS yang menentukan Komite Pengarah, itu didasarkan kepada kebutuhan dan kemampuan penyerapan. Itu tergantung perbedaan antara harga, selisih harga. Kalau harga minyak sawit CPO itu naik, Solarnya turun, kan semakin besar," terangnya. 

"Selisih harga tadi, subsidi itu bukan untuk kepentingan pengusaha. Itu justru untuk menjaga agar biodiesel, harga Solarnya di masyarakat affordable. Si pengusahanya tadi hanya selisihnya. Dia memproduksi harganya ditetapkan Rp 11 ribu, tetapi dia harus menjual ke Pertamina, misalnya Rp 9 ribu," jelas Eddy. 

 

 

2 dari 3 halaman

Tujuan B35

Dia lantas meminta semua kelompok untuk melihat kepentingan dari program B35 ini, termasuk untuk petani sawit. Sebagai contoh, serapan CPO dalam program B30 untuk 2022 sebesar 10 juta metrik ton. 

"Anda bisa bayangkan seandainya program biodiesel tidak ada, kemana 10 juta metrik ton tadi? Apa dampaknya kalau supply-nya lebih banyak daripada demand? Turun kan harganya. Siapa yang akan menanggung kerugian itu? Para petani," ungkapnya. 

"Jadi tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dengan produksi ini. Itu berdiri sendiri-sendiri. Saya tekankan, berdiri sendiri-sendiri. Banyak perusahaan biodiesel yang bukan eksportir," tegas Eddy.

Sebelumnya, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) merilis laporan, program biodiesel sejak masih B30 hanya bisa dinikmati sedikit korporasi besar yang menguasai industri sawit dari hulu ke hilir. 

Pernyataan itu dikemukakan, pasca mendapati temuan BPDPKS sukses menghimpun dana pungutan ekspor pada 2019-2021 sebesar Rp 70,99 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 66,78 triliun atau 94,07 persen mengalir ke program biodiesel. 

 

 

3 dari 3 halaman

Berbanding Terbalik

SPKS menilai, itu berbanding terbalik dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan ini menyebut, penghimpunan dana ditujukan untuk mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Pengembangan kelapa sawit berkelanjutan antara lain, mendorong penelitian dan pengembangan, promosi usaha, meningkatkan sarana prasarana pengembangan industri, pengembangan biodiesel, replanting, peningkatan jumlah mitra usaha dan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor, serta edukasi sumber daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit.

Tapi kenyataannya, dana hasil pungutan ekspor minyak sawit mentah masih jauh lebih banyak diprioritaskan untuk memberi subsidi kepada pengusaha yang terlibat di program biodiesel, ketimbang petani sawit. 

 

Â