Sukses

DMO Jatuhkan Harga TBS Sawit, Petani Minta Perlindungan Pemerintah

Apkasindo meminta perlindungan pada pemerintah terkait dampak dari kewajiban pemenuhan pasar domestik, atau DMO terhadap jatuhnya harga tandan buah segar atau TBS sawit.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta perlindungan pada pemerintah terkait dampak dari kewajiban pemenuhan pasar domestik, atau DMO terhadap jatuhnya harga tandan buah segar atau TBS sawit.

Sebab, pemerintah telah membatasi hak ekspor dari para petani minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng, yang membuat pendapatan terpangkas.

Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, kondisi saat ini menyulitkan para petani dan produsen minyak goreng. Dia pun menyarankan pemerintah untuk memberikan relaksasi kepada para eksportir minyak goreng, semisal menurunkan bea keluar bagi mereka yang mampu memenuhi kewajiban DMO.

"Jadi dua hal ini, DMO dan ekspor adalah melekat saling berkaitan. Kan tidak mungkin eksportir disuruh memasok DMO jika tidak ada ekspor mereka," Gulat dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (9/2/2023).

Menurut dia, kebijakan DMI membuat para petani sawit khawatir lantaran itu bisa berdampak negatif terhadap harga TBS. Oleh karenanya, Gulat meminta perlindungan kepada pemerintah yang mencakup tiga hal.

Pertama, memproteksi terhadap keadilan harga TBS sawit agar tidak semua beban DMO dan kewajiban harga penjualan di dalam negeri (DPO) tidak dibebankan ke hulu. Gulat menerangkan, kebijakan 50 persen itu menaikkan wajib pasok 300 ribu ton per bulan menjadi 450 ribu ton per bulan minyak goreng rakyat atau Minyakita. Alhasil, dibutuhkan DMO CPO sebesar 625 ribu ton CPO per bulan.

"Kebijakan simalakama ini sesungguhnya tidak membuat perusahaan CPO dan minyak goreng merugi, hanya berkurang atau tertunda keuntungannya. Selain itu pemerintah juga berkurang pemasukan dari ekspor,” ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Perlindungan Kedua

Perlindungan kedua, dengan memberikan petani sawit akselerasi untuk kemudahan meraih dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), khususnya Price to Sales Ratio (PSR) dan sarana prasarana. Melalui PSR, petani dapat meningkatkan produksi sampai tiga kali lipat.

"Saat ini rerata produksi TBS kami hanya Rp 800-1.200 kg per ha per bulan dengan produksi CPO per tahun hanya 2,7-3,2 to TBS per ha atau per bulan dengan produksi CPO per tahu 6-8 ton CPO," jelasnya.

Dengan begitu, jika harga TBS rendah, dengan produksi TBS yang tinggi maka akan mengurangi kerugian para petani sawit. Plus, petani meminta kepada pemerintah untuk menyederhanakan persyaratan PSR.

 

3 dari 3 halaman

Lahan Sawit

Terakhir, penyelesaian semua lahan petani sawit yang masih diklaim dalam kawasan hutan khususnya yang sudah tertanam sebelum 2020, kemudian melakukan sertifikasi lahan petani sawit dengan menggunakan dana BPDPKS. Menurut dia, hal ini sangat penting terkait kepastian usaha atau land ownership.

"Jika sudah ada kepastian usaha dan sertifikasi lahan, maka kami bisa menggunakan dana bank untuk lebih fokus ke GAP (Good Agricultural Practices) dan tentunya fokus semua permohonan kami ini adalah produktivitas lahan yang setara dengan korporasi," tegas Gulat.

"Permintaan perlindungan yang diajukan oleh petani tidak susah karena tidak memberatkan pemerintah dari segi pembiayaan. Pasalnya usulan yang diberikan oleh petani menggunakan dana sawit BPDPKS yang juga berasal dari petani," pungkasnya.