Sukses

Sri Mulyani Bahas Kesiapan Pasar Karbon Bareng Mantan Komisioner Perdagangan Eropa

Sri Mulyani mengatakan, dalam penanganan pasar karbon ini, setiap pemimpin dunia haruslah 'walk the talk'. Aksi yang konkrit, sekecil apapun, akan lebih menginspirasi dibanding pernyataan-pernyataan normatif.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menerima kunjungan perwakilan Climate Overshoot Commission (COC) yang merupakan Mantan Komisioner Eropa untuk Perdagangan Pascal Lamy. Dalam pertemuan ini hadir juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. 

Pertemuan yang berlangsung pada Jumat 10 Februari 2023 ini membahas kesiapan berbagai negara mengimplementasikan pasar karbon global.

"Saya menerima Pascal Lamy (Chair) dan @chatibbasri dari Climate Overshoot Commission (COC) sebuah organisasi independen yang memberikan rekomendasi kebijakan agar dunia tidak melampaui batas pemanasan global," kata Menkeu dikutip dari akun Instagram pribadinya @smindrawati, Senin (13/2/2023).

Menurut Menkeu, dalam penanganan pasar karbon ini, setiap pemimpin dunia haruslah 'walk the talk'. Aksi yang konkrit, sekecil apapun, akan lebih menginspirasi dibanding pernyataan-pernyataan normatif.

"Isu perubahan iklim merupakan permasalahan bersama. Permasalahan dunia. Perlu tata kelola dan komitmen global untuk menyelesaikannya," ujar Menkeu.

Apalagi, Pasar karbon global menjadi salah satu topik utama pembahasan dalam pertemuan tersebut. Menurut COC, G20 memiliki kapasitas mengatur framework dari pasar karbon global ini, namun hal ini sangat bergantung pada fokus negara tuan rumah.

"Bagi Indonesia sendiri kita diuntungkan dengan adanya potensi energi terbarukan yang masif dan beragam. Isu perubahan iklim ini juga terus di arus utamakan dalam rumusan kebijakan di seluruh Kementerian atau lembaga dan juga pemerintah daerah," jelas Sri Mulyani.

Oleh karena itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa Kementerian Keuangan berkomitmen terus menggunakan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen fiskal dalam pengaruh utama.

Isu ini salah satunya adalah melalui pajak karbon yang sedang disiapkan juga mekanisme transisi energi (ETM) harus terus berjalan.

"Saya dan COC sepakat seluruh progres aksi iklim yang dilaksanakan tidak boleh berjalan mundur," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jokowi Targetkan Mulai Bursa Karbon di 2023

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memulai realisasi bursa karbon pada 2023. Dalam hal ini, KLHK akan membawahi penyelenggaraan bursa karbon secara nasional.

Adapun target itu lebih cepat dari yang dicanangkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2024. Namun, Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional KLHK Wahyu Marjaka mengatakan, persiapannya tidak akan mudah.

"Target waktu dari pimpinan kami menjalankan amanat dari pak Presiden (Jokowi) adalah tahun 2023 ini. Tetapi pemahaman kami juga tidak mudah memang, harus semua infrastruktur selesai dulu. Dari regulasi kita harus sudah pastikan harus selesai," ujarnya di Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Wahyu memaparkan, sejumlah infrastruktur yang perlu disiapkan, antara lain Sistem Registri Nasional (SRN) yang terhubung antar stakeholder. Lalu, untuk memfasilitasi operasional perdagangan karbon semisal rumah karbon, dan lain sebagainya.

Lantas, ia pun menilai wajar mengapa OJK target penyelenggaraan bursa karbon baru bisa dimulai pada 2024 mendatang. Ke depan, KLHK pun akan terus berkolaborasi dengan pihak otoritas maupun berbagai sektor lainnya.

"Ini penting banget, karena (takut) kalau sistem yang kita siapkan, regulasi yang kita siapkan perangkatnya ternyata tidak match dengan apa yang dijalankan OJK. Jadi komunikasi ini menjadi sangat penting, dari awal terus dilakukan dulu," imbuhnya.

3 dari 3 halaman

Kombinasi

Untuk pelaksanaan bursa karbon, Wahyu buka kemungkinan itu bisa dikombinasi. Misalnya, apakah OJK dengan segala sistem yang dibuat KLHK akan membentuk suatu bursa sendiri, atau sama dengan bursa eksisting seperti di Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Saya belum memutuskan saat ini, karena faktor yang harus kita hitung masih cukup banyak," ujar Wahyu.

Sementara ini, ia menyebut mekanisme perdagangan karbon mungkin akan dilakukan secara langsung. Seperti yang sudah resmi dimulai oleh perusahaan pembangkit listrik dengan menjual Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE).

"Kalau bursa karbon barangkali butuh bebetapa waktu untuk berbagai hal. Sama sebetulnya perdagangan langsung butuh itu, tapi mungkin perdagangan langsung butuh waktu lebih pendek," tuturnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.