Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) mengungkap 12 koperasi simpan pinjam melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam periode 2020-2022. Nilai tindak pidana pencucian uang itu mencapai Rp500 triliun.
Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis Suroto pun meminta PPATK membuka data 12 Koperasi Simpan Pinjam yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total Rp500 triliun tersebut. Langkah ini perlu dilakukan agar tidak merusak citra koperasi secara umum.
Baca Juga
“Lembaga keuangan adalah lembaga yang sensitif terhadap isu. Apakah berdampak kepada koperasi? Jelas, orang jadi takut, menarik uangnya dan sebagainya itu justru memicu terjadinya rush di koperasi yang lain,” katanya dikutip dari Antara, Jumat (17/2/2023).
Advertisement
Suroto menuturkan jika temuan PPATK tersebut baru sebatas dugaan, sebaiknya tidak usah dipublikasikan terlebih dahulu agar masyarakat terutama anggota koperasi tidak panik. Apalagi saat ini kasus penipuan dan penggelapan dana KSP Indosurya masih hangat dibicarakan. Ia khawatir, isu-isu koperasi tersebut justru akan membuat citra koperasi semakin terpojok.
“Kalau baru dugaan harusnya tidak usah diekspos, kalau pun dugaan alamatnya harus jelas, misal dugaan kepada PT apa harus jelas. Dengan dia menyebut koperasi kan secara sistematis merusak koperasi” ujarnya.
Selain itu, Suroto juga menyorot Satuan Tugas Koperasi Bermasalah Kemenkop UKM yang tidak memberi kesempatan kepada anggota koperasi untuk melakukan rapat koordinasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di koperasi.
Menurut dia, setiap lembaga keuangan dan tak terkecuali koperasi pasti punya risiko gagal bayar. Penyebabnya bisa karena masalah internal ataupun karena masalah eksternal. Secara internal masalahnya bisa karena kesalahan manajemen dan atau disebabkan oleh tindakan korupsi atau penyalahgunaan wewenang oleh pihak pengurus atau manajemen.
“Masalah tersebut semua mestinya dapat diketahui sumbernya jika dilakukan melalui penyelenggaraan Rapat Anggota. Sebab menurut hukum koperasi, Rapat Anggota Koperasi adalah merupakan forum tertinggi di koperasi,” tuturnya.
Jika langsung dibawa ke ranah hukum, ia khawatir uang anggota koperasi justru sulit kembali seperti kasus travel Cipaganti, koperasi Langit Biru dan koperasi Pandawa.
PPATK Ungkap 12 Koperasi Lakukan Pidana Pencucian Uang Capai Rp 500 Triliun
Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) mengungkap 12 koperasi simpan pinjam melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam periode 2020-2022. Nilai tindak pidana pencucian uang itu mencapai Rp500 triliun.
"PPATK sudah memiliki 21 hasil analisis atau informasi terkait 11 kasus terkait dengan korupsi, tak hanya Indosurya. Dan PPATK menemukan dalam periode 2020-2022 saja, itu ada 12 koperasi simpan pinjam dengan dugaan TPPU, termasuk koperasi yang sekarang ini," ujar Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
"Jumlah dana secara keseluruhan melebihi Rp 500 triliun kalau bicara kasus yang pernah ditangani koperasi," paparnya.
Ivan menjelaskan, PPATK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang yang masif dilakukan oleh Indosurya. Hasilnya sudah disampaikan ke Kejaksaan Agung.
"Itu angkanya memang luar biasa besar. Kami menemukan dari satu bank saja, ada nasabah sekitar 40 ribu nasabah, itu dari satu bank saja. Kita punya sekian puluh atau sekian belas bank," ujarnya.
PPATK saat ini sedang mengikuti aliran dana Indosurya. Termasuk uang yang lari ke luar negeri.
Ivan mengatakan, Indosurya melakukan skema ponzi kepada nasabahnya. PPATK juga telah melapor kepada Menteri Koperasi dan UMKM.
"Dan jika ditanyakan, apakah ada aliran ke luar negeri, ya PPATK mengikuti aliran ke luar negeri. Alirannya sebenarnya sederhana, secara keseluruhan skemanya sebenarnya skema ponzi. Itu sudah kami sampaikan kepada pak Menteri Koperasi, pak Teten. Koperasi KSP ini skemanya skema ponzi," jelasnya.
Advertisement
Untuk Kepentingan Pribadi
PPATK menemukan, Indosurya menggunakan dana nasabah untuk berbagai kepentingan pribadi. Misalnya membeli Yacht sampai operasi plastik.
"Dia hanya menunggu masuknya modal baru karna banyak dana nasabah itu dipakai, ditransaksikan ke perusahaan terafiliasi, contohnya dibelikan jet, dibayarkan yacht, bahkan dibayarkan untuk operasi plastik, dibayarkan untuk kecantikan, utk suntik, macam-macam," jelas Ivan.