Liputan6.com, Jakarta Krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina berisiko mendorong 141 juta orang di seluruh dunia ke dalam kemiskinan ekstrem.Â
Hal itu diungkapkan oleh laporan baru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Energy.
Baca Juga
Melansir CNN Business, Selasa (21/2/2023) dalam jurnal Nature Energy para peneliti dari Belanda, Inggris, China, dan Amerika Serikat membuat model dampak kenaikan harga energi di 116 negara dan menemukan bahwa pengeluaran rumah tangga meningkat rata-rata hingga 4,8 persen.
Advertisement
Naiknya pengeluaran ini karena harga batu bara dan gas alam melonjak menyusul pecahnya perang Rusia-Ukraina, menambahkan kenaikan pasca pandemi.
Â
Di negara-negara berpenghasilan rendah, laporan tersebut mengatakan rumah tangga miskin yang sudah menghadapi kekurangan pangan yang parah memiliki risiko kemiskinan yang lebih besar karena biaya energi yang tinggi.
Tak hanya itu, rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi juga merasakan dampak kenaikan biaya energi, tetapi lebih mungkin untuk menyerapnya ke dalam anggaran rumah tangga, kata laporan itu.
Selain itu, sejumlah negara juga ada yang sangat terekspos dengan lonjakan biaya energi.
Salah satunya, kenaikan biaya energi di Estonia, Polandia, dan Republik Ceko berada di atas rata-rata global, terutama karena negara-negara tersebut lebih mengandalkan industri padat energi. Polandia khususnya mengandalkan batu bara untuk 68,5 persen pembangkit energinya, pada tahun 2020.
Kenaikan biaya energi yang disebabkan oleh krisis di Ukraina juga berdampak pada meningkatnya biaya kebutuhan pangan.
Dibandingkan tahun lalu, harga telur di AS naik 70,1 persen, margarin naik 44,7 ersen, mentega 26,3 persen, tepung 20,4 persen, roti 14,9Â persen, gula 13,5 persen dan harga ayam naik 10,5Â persen bersama-sama dengan buah, menurut data inflasi yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja AS bulan ini.
Nestle Hingga Unilever Mulai Rasakan Kenaikan Biaya
CEO Nestlé, grup makanan terbesar di dunia, menggemakan raksasa konsumen lainnya seperti Unilever dan Proctor & Gamble untuk memperingatkan bahwa harga barang kebutuhan pokok akan naik lebih jauh tahun ini.
"Seperti semua konsumen di seluruh dunia, kami telah terkena inflasi dan sekarang kami sedang mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi," kata CEO Nestlé Mark Schneider dalam sebuah panggilan telepon dengan wartawan.
Dari 2.000 merek perusahaan makanan, yang mencakup makanan beku, kembang gula, dan susu formula bayi, Nestle akan terpengaruh oleh kenaikan harga.
Kepala keuangan Unilever Graeme Pitkethly juga mengatakan, "Kami mungkin melewati puncak inflasi, tetapi kami belum mencapai harga puncak." CEO Unilever mengatakan pada panggilan yang sama bahwa perusahaan memperkirakan harga pangan meningkat secara signifikan pada tahun 2023.
Â
Advertisement
Diperlukan Lebih Banyak Upaya
Menurut laporan Nature Energy, banyak pemerintah di seluruh dunia telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak kenaikan harga energi pada rumah tangga, mulai dari pengurangan pajak energi dan pemberian diskon tagihan energi hingga subsidi energi dan pembatasan harga sekali pakai.
Namun laporan itu menyarankan lebih banyak upaya, seperti menetapkan subsidi harga, mengenakan pajak penghasilan pada perusahaan energi, dan mengesahkan undang-undang untuk menggunakan sumber energi yang lebih berkelanjutan di sepanjang rantai pasokan makanan.
Laporan tersebut menambahkan bahwa krisis energi ini harus menjadi pengingat akan risiko "sistem energi yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil, tidak hanya menyebabkan jutaan orang berada di ambang kemiskinan ekstrem, tetapi juga mempercepat perubahan iklim, yang menimbulkan lebih banyak tantangan bagi masyarakat rentan terhadap kenaikan harga energi.