Liputan6.com, Jakarta Resesi global mengancam sebagian besar negara di dunia. Sejumlah negara mulai mengantisipasi dengan berbagai kebijakan masing-masing, mulai dari menaikkan suku bunga hingga memberikan insentif kepada para pelaku ekonomi.
Indonesia misalnya, berbagai kebijakan tengah dilakukan mulai dari perkuat pasar ekspor hingga memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Tujuan akhirnya satu, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Dengan ekonomi tetap tumbuh, maka sebuah negara akan jauh dari resesi.
Baca Juga
Banyak pihak yang mengartikan resesi global sama seperti krisis ekonomi. Namun, perlu diketahui, ternyata istilah tersebut sangat jauh berbeda. Mana yang punya dampak lebih dahsyat terhadap sebuah negara?
Advertisement
Resesi
Seperti diketahui, resesi ekonomi memiliki pengertian bahwa sebuah negara angka pertumbuhan ekonominya negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Jika itu terpenuhi, maka negara tersebut bisa dikatakan jatuh ke jurang resesi.
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menjelaskan, resesi ekonomi menjelaskan, resesi cenderung bisa diprediksi dan bisa diantisipasi ketimbang krisis ekonomi.
"Biasanya resesi memang predictable, karena sinyalnya bisa dilihat dari historical growth. Kalau krisis agak sulit, bukan berarti tak terprediksi," terang dia kepada Liputan6.com, Selasa (21/2/2023).
Tidak hanya itu, resesi juga memiliki siklus. Di mana kondisi ekonomi dunia ada masa ketika bisnis tumbuh, lalu berkembang, sampai pada puncaknya, lalu mulai menurun. Di situlah potensi resesi ekonomi terjadi.
"Ekonomi akan mengikuti, setelah ekonomi tumbuh cukup agresif ada masanya overheating, lalu inflasi, lalu suku bunga dinaikkan. Setelah suku bunga naik biasanya inflasinya mereda, tapi growth-nya juga melambat. Di situlah kita menyebutnya resesi," terangnya.
"Jadi, mengapa kita menyebut resesi global, karena negara-negara besar mengambil arah ke sana untuk melawan inflasi," tambah dia.
Krisis Ekonomi
Berbeda dengan resesi, krisis ekonomi sangat sulit diprediksi dan cenderung bersifat mendadak. Berbagai hal yang menyebabkan krisis ekonomi diantaranya adanya masalah keuangan yang meluas.
Indonesia sendiri pernah mengalami krisis ekonomi pada 1997-1998.
"1997-1998, bank dan perusahaan terlilit utang, tidak mampu bayar, malah sebagian tutup, sebagian dapat talangan. Penggangguran mendadak naik tajam. Otomatis growth langsung minus. Rate rupiah tepar berlipat-lipat," jelas Ronny.
"Oleh karena itu, biasanya kerusakan ekonomi akibat krisis ekonomi lebih parah dan butuh waktu untuk pemulihan," pungkasnya.
Daftar Resesi yang Pernah Dialami Indonesia, Mana Paling Dahsyat?
Pemerintah terus mewaspadai ancaman resesi global bagi Indonesia. Berbagai strategi pun telah disiapkan demi menjaga mimentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Strategi ini mulai dari menjaga konsumsi rumah tangga melalui berbagai bantuan sosial (Bansos) hingga meningkatkan pasar ekspor baru.
Dalam pengertiannya, resesi ekonomi sendiri terjadi di mana jika sebuah negara pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Berbicara mengenai resesi global, sebenarnya Indonesia sudah sering melalui resesi. Dan semuanya sukses dilewati meskipun tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dikutip dari berbagai sumber Liputan6.com, Selasa (21/2/2023),
Daftar resesi yang pernah dialami Indonesia:
1. Resesi 1963
Indonesia pertama kali melawan resesi pada 1963. Penyebab resesi saat itu adalah belanja pemerintah yang membengkak, kemudian berujung terjadinya hiperinflasi. Keputusan yang diambil Presiden Soekarno saat itu, menyababkan defisit anggaran tembus hingga 600 persen pada 1965.
Dari masalah resesi itu, baru ekonomi Indonesia kembali positif di tahun 1970 saat kepemimpinan negara dipegang Soeharto.
2. Resesi 1997-1998
Era kejayaan Soeharto mengembalikan ekonomi Indonesia positif hanya bertahan kurang lebih 20 tahun saja. Ekonomi Indonesia kembali bergejolak di tahun 1990-an. Tepatnya mulai kembali resesi pada 1997/1998. Krisis finansial Asia menjadi penyebabnya.
Saat itu, Indonesia resesi selama tiga kuartal berturut-turut. Dampaknya, nilai tukar rupiah yang meroket 80 persen hingag menyentuh Rp 16.000 per dolar AS. Padahal sebelumnya hanya Rp 9.000 per dolar AS.
Puncaknya ketika masyarakat mulai tidak percaya terhadap Presiden Soeharto yang keudian terjadi demo besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia. Akhirnya Soeharto lengser.
3. Resesi 2020
Indonesia kembali menghadapi resesi pada 2020. Masalah utamanya, kondisi ekonomi dunia yang memburuk akibat badai pandemi Covid-19. Banyak negara di dunia melakukan penguncian atau lockdown, sehingga mengakibatka perdagangan dunia mandeg. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 terkontraksi 5,32 persen dan kuartal II sebesar 3,49 persen. Selama 2020, Indonesia belum mampu abngkit dari rersesi. Baru pada kuartal II-2021 Indonesia bangkit dari resesi, dimana mencatatkan pertumbuhan ekonomi melesat 7,07 persen.
Advertisement
Bahayanya Resesi Global 2023 Bila Tak Segera Dijinakkan
Aksi PHK (pemutusan hubungan kerja) massal ramai terendus di tengah potensi resesi global. Adapun isu resesi ekonomi marak dibicarakan seiring pengetatan fiskal yang dilakukan sejumlah bank sentral, khususnya kenaikan suku bunga acuan The Fed Amerika Serikat
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, Indonesia sejauh ini terhitung aman dari ancaman resesi. Namun, ia tidak memungkiri NKRI bakal ikut terkena dampak pertumbuhan minus ekonomi dunia.
"Soal potensi ekonomi RI ambruk, saya kira belum sejauh itulah ya. Tapi setidaknya akan ada tekanan ekonomi yang lumayan tinggi dari ancaman resesi global dan pengetatan suku bunga The Fed," kata Ronny kepada Liputan6.com, Senin (20/2/2023).
Dari sisi resesi global 2023, ia menambahkan, pasar ekspor nasional akan tertekan. Sehingga berpeluang meningkatkan angka PHK nasional di tahun ini.
Â
Investasi Loyo
Dari sisi kebijakan moneter, pengenaan suku bunga acuan tinggi pun akan menekan investasi. Ujungnya, Ronny mengatakan, itu akan memperkecil kesempatan pembukaan lapangan kerja baru.
"Dengan adanya potensi PHK dan mengecilnya daya serap tenaga kerja akibat likuiditas untuk investasi mengetat, akan memberikan deflasionary pressure kepada ekonomi nasional," terangnya.
Ronny lantas memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia potensi mandeg (stagnasi) atau melambat di tengah kenaikan angka inflasi, alias stagflasi.
"Itu semua berisiko membawa Indonesia ke dalam perangkap sekular stagnasi, bahkan perangkap stagflasi," pungkas Ronny.
Advertisement