Sukses

Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO, Petani Sawit Siap Pasang Badan

Kelompok petani sawit mendukung penuh langkah Pemerintah Indonesia yang bakal melayangkan gugatan kepada Uni Eropa di organisasi perdagangan dunia (WTO), terkait UU Produk Deforestasi yang melarang impor produk seperti minyak sawit.

Liputan6.com, Jakarta Kelompok petani sawit mendukung penuh langkah Pemerintah Indonesia yang bakal melayangkan gugatan kepada Uni Eropa di organisasi perdagangan dunia (WTO), terkait UU Produk Deforestasi yang melarang impor produk seperti minyak sawit.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung optimistis Pemerintah RI akan menang melawan Uni Eropa di WTO.

"Optimis dong, karena ini adalah hak Indonesia untuk melakukan beberapa perlindungan terhadap hasil produksinya," ujar Gulat saat ditemui di sela-sela Rakornas Kelapa Sawit 2023 di Pullman Central Park, Jakarta, Senin (27/2/2023).

Menurut dia, menggugat Uni Eropa jadi hukum wajib guna melindungi produk sawit dan turunannya. Bahkan, petani sawit disebutnya bakal beraksi bila pemerintah tak ikut campur tangan.

"Kalau pemerintah enggak gugat, kami yang akan gugat, petani sawit. Karena itu masalahnya adalah keadilan, keadilan itu setara, dan kita harus punya hak untuk itu," kata Gulat.

"Kalau pak Jokowi enggak gugat, negara enggak gugat, petani sawit yang gugat. Ini masalah pendapatan negara, harkat martabat yang diatur-atur oleh Uni Eropa. Faktanya, mereka butuh kok," tegasnya.

Gulat lantas memaparkan strategi agar gugatan ke WTO bisa dimenangkan Indonesia. Ia pun ingin dunia melihat bagaimana realitas pada sektor industri kelapa sawit di lapangan.

"Makanya perbanyak itu kunjungan ke lapangan, lihat betapa efektifnya 3 dimensi, ekonomi, sosial dan lingkungan dari sawit ini. Jadi isu yang salah di-counter melalui ke lapangan, enggak boleh hanya pergi ke sana, pergi ke sini. Udang mereka datang. Kami sudah melakukan itu, 27 duta besar Uni Eropa udah kami ajak ketemu," tuturnya.

 

2 dari 3 halaman

Masih Seret, Penyaluran Dana Peremajaan Sawit Baru 9,9 Persen dari Target

Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk kurun waktu 2017-2022 baru mencapai 278.200 ha. Jumlah itu masih jauh dari total target 2,8 juta ha lahan sawit yang potensial diremajakan.

Bila dihitung, angka tersebut baru sekitar 9,93 persen dari total lahan potensial sawit yang ada.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Andi Nur Alamsyah mengatakan, target per tahun realisasi PSR sebenarnya mencapai 10 ribu ha. Acuan itu didapat dari penyaluran program yang dilaksanakan di 21 provinsi dan 123 kabupaten/kota.

"Kita bersama memahami, bahwa realisasi PSR masih sangat rendah. Sejak tahun 2017-2022, capaian kita sebesar 278,2 ribu ha. Setidaknya, terdapat 2,8 juta ha luasan sawit rakyat yang potensial kita remajakan," terangnya dalam Rakornas Kelapa Sawit 2023 di Pullman Central Park, Jakarta, Senin (27/2/2023).

Guna mengakselerasi penyaluran dana PSR, Kementan pun berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Masalahnya, Andi menilai, percepatan program peremajaan sawit masih terkendala dalam pengurusan administrasi untuk pihak petani di kedua instansi tersebut.

"Dengan adanya komitmen bersama ini diharapkan dapat menganulir tantangan pada tingkat lapangan, khususnya dalam pengurusan administrasi untuk kelengkapan pengajuan persyaratan PSR," ungkapnya.

 

3 dari 3 halaman

Realisasi

Ditemui terpisah pada acara yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menyampaikan, angka realisasi peremajaan sawit rakyat baru sekitar 273 ribu ha sejak 2016.

"Sampai dengan saat ini mulai PSR 2016 sampai 2022 itu sudah rekomendasi teknis 278 ribu ha. Dari situ sudah direalisasikan penyalurannya 273 ribu ha, dengan jumlah nilai penyalurannya sebesar Rp 7,5 triliun," paparnya.

Eddy lantas menjabarkan kendala realisasi yang masih jauh di bawah target. Menurutnya, itu disebabkan karena proses pemenuhan persyaratan kepada petani yang masih belibet.

"Misalnya, dia tidak berada di kawasan hutan, dia tidak berada di dalam kawasan usaha, terus kemudian legalitas lahannya terpenuhi, itu yang menjadi persoalan," kata Eddy.