Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya ketidaksesuaian layanan yang diberikan rumah sakit terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan. Salah satunya mengenai praktik batasan kuota yang diberikan fasilitas kesehatan.
Sejumlah solusi mulai dari evaluasi hingga pengetatan pengawasan ditawarkan Ombudsman RI sebagai langkah tindak lanjut. Setidaknya ada 4 poin yang ditawarkan.
Pertama, memastikan fungsi pengawasan oleh Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan, BPRS, dan BPJS Kesehatan dilakukan secara optimal dengan memaksimalkan pengawasan self assessment. Sehingga tidak ada lagi penolakan pemberian layanan terhadap pasien BPJS Kesehatan.
Advertisement
"Bahwa self assesment itu bukan sekadar akreditasi, tetapi betul-betul diperiksa bagaimana kemampuan rumah sakit dalam memberikan layanan apakah betul memang ada kendala jumlah dokter di masing-masing rumah sakit? Atau seperti apa? Sehingga ada solusi yang bisa ditawarkan ketika self assessment itu kemudian naik dalam tahapan akreditasi," ujar Asisten Ombudsman RI Bellinda W. Dewanty dalam Diskusi Publik Ombudsman RI bertajuk 'Rupa-Rupa Masalah Kuota Layanan BPJS Kesehatan', Selasa (28/2/2023).
Kedua, menyusun regulasi perihal keterbukaan informasi publik dalam mengakses pelayanan kesehatan serta melakukan sosialisasi secara masif di seluruh faskes di Indonesia.
Susun SOP
Ketiga, menyusun standar operasional prosedur serta evaluasi perihal pengelolaan pengaduan penyelenggaraan pelayanan fasilitas kesehatan pada FKTP dan FKRTL. Termasuk mengoptimalkan peran petugas pengelolaan pengaduan di faskes.
"Kami menginginkan agar disusun standar operasional prosedur terkait evaluasi perihal pengelolaan pengaduan. Karena kami masih melihat bahwa pengelolaan pengaduan baik itu di tingkat pertama maupun ditingkat lanjutan, pengelolaan pengaduan hanya sekadar pengaduan yang tidak kemudian dieskalasi," paparnya.
Keempat, melakukan evaluasi perihal jaminan mutu penyelenggaraan pelayanan fasilitas kesehatan baik yang diselenggarakan oleh fasilitas kesehatan maupun oleh BPJS Kesehatan perihal kepastian sistem pembiayaan peserta BPJS Kesehatan.
"Kami tahu betul bahwa BPJS Kesehatan memiliki kedeputian khusus terkait dengan jaminan mutu. Oleh karenanya kami mengimbau, meminta agar BPJS Kesehatan memaksimqlkan jaminan mutu ini agar tidak terjadi praktik-praktik maladministrasi baik itu di tingkat FKTP maupun di tingkat lanjutan," tegas Bellinda.
Â
Potensi Maladministrasi
Pada kesempatan ini, Bellinda juga merangkum sejumlah potensi maladministrasi dalam pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan. Ini didapat salah satunya dari laporan masyarakat, setidaknya ada 400 laporan yang masuk ke Ombudsman selama 2022 terkait hal ini.
Maladministrasi pertama adalah tidak adanya standardisasi atau regulasi. Dengan tak adanya aturan mengenai pemberian kuota, diduga fasilitas kesehatan secara sepihak menentukan jumlah kuota kepada peserta BPJS Kesehatan.
Kedua, adanya dugaan diskriminasi. Maksudnya, adanya pemberlakuan kuota mengakibatkan terjadiny diskriminasi dalam pemberian layanan. Hal ini karena adanya keterbatasan kemampuan dan kurangnya dokter, kemampuan atau ketersediaan ruangan dan alat medis, serta adanya perbedaan pembiayaan bagi fasilitas kesehatan.
Ketiga, adanya dugaan pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur. Maksudnya, ada temuan kurang maksimalnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Kemenkes, Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), dan BPJS Kesehatan dalam memastikan praktik-praktik pembatasa layanan tidak terjadi di seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tindak Lanjut (FKRTL).
Keempat, adanya dugaan mengenai masalah keterbukaan informasi publik. Yakni, akses informasi yang tidak terdistribusi di seluruh FKTP dan FKRTL di Indonesia, sehingga adanya strandardisasi layanan yang berbeda-beda.
Â
Advertisement
Pemerintah Harus Tanggung Jawab
Diberitakan sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya pelayanan yang tidak sesuai kepada peserta BPJS Kesehatan. Untuk itu, pemerintah diminta turun tangan untuk membenahi masalah tersebut.
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengungkap ada pembatasan pelayanan berbasis kuota yang diterima peserta BPJS Kesehatan. Baik itu dalam jumlah layanan, atau waktu pelayanan yang diberikan.
Dia meminta pemerintah untuk menyusun strategi penanganan di tingkat fasilitas kesehatan tingkat satu hingga klinik penyedia layanan BPJS Kesehatan. Di sisi lain, pemerintah didorong untuk memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat terkait layanan tersebut.
"Kalau pun tidak, Ombudsman melihat bahwa fungsi pemerintah, fungsi BPJS untuk memberikan penjelasan informasi yang terang benderang, informasi yang simetris itu harus dilakukan," kata dia dalam Diskusi Publik Ombudsman RI bertajuk 'Rupa-Rupa Masalah Kuota Layanan BPJS Kesehatan', Selasa (28/2/2023).
Â
Â
Tak Dapat Informasi
Sejauh temuannya, Robert mengaku kalau masyarakat kerap tidak mendapat informasi yang cukup bahkan tidak selaras dengan informasi yang disampaikan mengenai layanan BPJS Kesehatan. Diketahui, ada 400 laporan dengan topik layanan BPJS Kesehatan yang masuk ke Ombudsman RI pada 2022 lalu.
"Sisi lain juga kami melihat bahwa tentu tak bisa negara dalam hal ini Kemenkes hingga di tingkat operasional di lapangan maupun BPJS lepas dari tanggung jawab," ungkapnya.
"Pemerintha harus ambil tanggung jawab termasuk dalam mengatur berbagai standar pelayanan yang ada. Standar pelayanan harus jelas, SOP harus jelas sampai pada hal-hal yang sifatnya operasional sehingga masyarakat kemudian tau akan seperti apa proses layanannya," tambah Robert.
Sebut saja, informasi jelas mengenai alur pelayanan bagi peserta BPJS Kesehatan. Mulai dari awal, proses layanan, hingga akhir pelayanan. Ditambah lagi, informasi mengenai opsi layanan yang bisa didapatkan oleh masyarakat jika tidak mendapatkan layanan di kesempatan pertama.
"Yang kami lihat dari fakta di lapangan, soal standar pelayanan ini memang menjadi pekerjaan serius dari sisis pemerintah. Kemudian juga hak publik keterbukaan transparansi informasi juga perlu dibenahi, dan pada sisi lain adalah soal pengawasan pemerintah, pengawasan BPJS atas praktik layanan yang terjadi di rumah sakit pemerintah dan RS swasta yang buka layanan bagi kepesertaan BPJS Kesehatan," tegas Robert.
Advertisement