Sukses

Sidang Perkara Minyak Goreng Masuk Fase Akhir, Pengamat Soroti Hal Ini

Perkara kartel minyak goreng masih tergulir hingga saat ini.

 

Liputan6.com, Jakarta Sidang Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Pemeriksaan Lanjutan atas Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 Huruf c dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia mulai memasuki fase akhir, yakni pemeriksaan terhadap para Terlapor di perkara tersebut.

Ahli hukum persaingan usaha Ningrum Natasya Sirait menjelaskan bahwa penentuan pasar bersangkutan yang tepat merupakan hal yang sangat krusial dalam menangani dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Apabila pasar bersangkutan ditentukan dengan metode yang tidak tepat, maka pasar bersangkutan tersebut bisa menyesatkan dan keliru. 

“Bila suatu perkara persaingan usaha tidak didasarkan pada analisis pasar bersangkutan yang tepat dan benar, maka perkara tersebut harus dihentikan dengan alasan mistrial karena ketiadaan unsur terpenting suatu perkara,” ujarnya dikutip Jumat (3/3/2023).

Menurut Ningrum, bukti tidak langsung (indirect evidence) tanpa didukung dengan bukti langsung (direct evidence) tidak dapat digunakan dalam pembuktian Pasal 5 UU Antimonopoli.

Apabila tidak ditemukan adanya direct evidence, maka penggunaan indirect evidence harus sangat hati-hati dan didukung oleh analisis plus factor.

Ini untuk membedakan apakah hal tersebut hanya merupakan perilaku atau strategi interdependen yang paralel atau merupakan kesepakatan penetapan harga. Apabila analisis plus faktor ini tidak dilakukan, maka indirect evidence tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara penetapan harga. 

 

2 dari 3 halaman

Alat Bukti

Dia menambahkan, indirect evidence hanya merupakan alat bukti petunjuk dalam Pasal 42 UU Antimonopoli, sehingga tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti.

Berdasarkan Peraturan KPPU  Nomor 1/2019, indirect evidence adalah bukti petunjuk yang berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi.  

“Bukti ekonomi misalnya berupa kenaikan harga bersama, dengan melihat apakah itu disebabkan oleh faktor eksternal atau karena kesepakatan," ungkapnya.

"Apabila para pelaku usaha ternyata menggunakan bahan baku yang sama, kemudian ada kenaikan harga bahan baku, otomatis mereka juga akan menaikkan harga, hal itu bukan karena kesepakatan. OECD dalam pedomannya juga sudah memberikan warning agar price parallelism perlu dilengkapi analisa plus factor sehingga tidak keliru," lanjut Ningrum.

 

 

3 dari 3 halaman

Perkara Kartel

Ningrum melanjutkan, indirect evidence berupa bukti komunikasi harus memperhatikan kualitas buktinya. Selain itu, yang terpenting adalah membuktikan adanya pelaksanaan dari komunikasi tersebut. Petunjuk hanya satu alat bukti dalam perkara kartel dan tidak dapat berdiri sendiri.

Karena itu, harus dilengkapi dengan bukti lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Nomor 5/1999, ada lima alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian kartel, yaitu  keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk; dan keterangan pelaku usaha.

"Jadi, circumstantial atau indirect evidence itu tidak cukup membuktikan kartel, harus ditambah dengan bukti lain dalam Pasal 42,” tandas Ningrum.

Sebagaimana diketahui, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c UU Nonmor 5/1999. Para Terlapor diduga membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.