Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan berkomitmen mendirikan bursa berjangka komoditi sawit, atau bursa acuan sawit paling lambat Juni 2023.
Pria yang kerap disapa Zulhas ini mengaku terus didesak oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan agar harga acuan minyak sawit mentah (CPO) tidak lagi bergantung pada Malaysia.
Baca Juga
"Saya bilang, Juni, Juli sudah ada paling lambat. Saya ditegur terus Pak Presiden, Pak Luhut, kok kita ngandalkan Malaysia. Kita kan lebih banyak sawitnya," ujar Zulkifli Hasan saat ditemui di acara Bulan Literasi Perdagangan Berjangka Komoditi 2023 di JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Advertisement
Senada, Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko memproyeksikan, Indonesia bakal memiliki harga acuan sendiri untuk sejumlah komoditas unggulan semisal CPO, timah dan karet pada tahun ini.
"Untuk mewujudkan ini, maka komoditi ini harus ditransaksikan di bursa berjangka. Sehingga akan menghasilkan tata kelola perdagangan yang fair dan transparan," ungkapnya.
Tidak Mudah
"Saya kira itu akan dibutuhkan, untuk memberikan keuntungan bagi petani, pedagang, pengusaha, bahkan dari segi penerimaan pajak," kata Didid.
Namun, ia menyadari pembentukan bursa komoditi yang mampu menghasilkan referensi harga tidaklah mudah. Oleh karenanya, Didid berharap ada sinergitas dari semua pihak, termasuk pelaku usaha agar itu bisa terwujud di 2023 ini.
"Setidaknya, di tahun 2023 di bulan Juni, kamu sudah berencana memasukan CPO ke dalam bursa komoditi. Diharapkan dua bulan berikutnya akan terbentuk price discovery. Sehingga pada akhir tahun bisa diharapkan adanya price reference untuk CPO," tuturnya.
Bursa Acuan Sawit Bisa Jalan Baik, Asal Kuota Ekspor Diubah
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mendukung penuh program Menteri Perdagangan (Mendag) yang minta segera dibentuk indeks atau bursa harga acuan sawit.
Menurut dia, pembentukan bursa acuan sawit bakal membuat Indonesia berdaulat tentukan harga komoditas kelapa sawit tersebut. Namun, pemerintah dinilainya perlu membuat kebijakan yang membatasi porsi penjualan yang masih berorientasi pada pasar ekspor.
"Pola bisnis sawit kita itu 40 persen domestik, 60 persen ekspor. Kalau saya sarankan, selama kita tergantung pada volume ekspor, itu akan sulit berjalan," ujar Sahat saat dijumpai di Kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Oleh karenanya, ia mendorong Kementerian Perindustrian dan Kementerian Investasi/BKPM untuk membuat regulasi supaya pelaku industri sawit bisa fokus pada pasar domestik, dan membatasi kuota ekspor.
Advertisement
Harga Sawit Dalam Negeri
Berdasarkan catatannya, harga sawit di dalam negeri berkisar USD 200-700 per ton lebih murah dari harga ekspor. Sahat lantas membuat pengibaratan, keuntungan yang didapat dari penjualan di pasar domestik dan ekspor sebenarnya sama, tapi bisa lebih cuan di dalam negeri karena bisa menjual dengan volume lebih besar.
"Anggap rata-rata (keuntungan) USD 400 (per ton). Jadi kalau harga di luar negeri USD 1.100 per ton, harga dalam negeri USD 700. Biaya memproduksi produk A katakanlah USD 300. Berarti kalau di dalam negeri saya beli USD 800, harga saya jual USD 1.100," paparnya.
"Sedangkan kalau di luar negeri USD 1.100 jadi USD 1.400, mana lebih menguntungkan? Yang di dalam negeri kan," kata dia.
Sehingga, ia meminta agar kuota penjualan sawit diubah menjadi 60 persen dalam negeri, 40 persen ekspor. "Atau kalau bisa 65:35," desaknya.
Sahat lantas berujar, pelaku industri sawit nasional juga masih belum mau jemput bola ke pasar domestik, lantaran tata kelola industri sawit oleh pemerintah kurang baik.
"Jadi, buku suci daripada industri, regulasi konsisten. Jangan tiap minggu berubah. Jadi bukan mimpi berdoa bisa jalan, enggak akan. Perlu usaha," tegas dia.