Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan jika temuan transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 300 triliun merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan bukan tindak pidana korupsi.
Dia pun menjelaskan perbedaan tindak korupsi dengan tindak pencucian uang. "Korupsi itu ambil uang negara, mark-up, markdown, terima suap. (Contoh) pencucian uang itu dalam bentuk saham perusahaan yang diberikan kepada keluarganya, ke perusahaan cangkang, dan sebagainya," ujar Mahfud di kantornya, Jumat (10/3/2023).
Dalam ilmu intelijen keuangan, TPPU umumnya dapat ditelusuri melalui kepemilikan rekening anak atau keluarga atau rekan bisnis.Â
Â
Selain itu, nilai korupsi yang dilakukan seorang penyelenggara negara umumnya tidak lebih besar dibandingkan dengan nilai TPPU. Oleh sebab itu, ia mendorong adanya konstruksi Undang-Undang TPPU oleh aparat penegak hukum dan legislator, agar jika terdapat aset atau kekayaan yang diperoleh dengan TPPU, dapat dirampas untuk negara.
Â
Dengan demikian, ucap Mahfud, memang benar jika terdapat masalah di Kementerian Keuangan namun tidak semuanya dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Â
Bahkan diungkapkan Kemenkeu telah mengembalikan Rp 7,08 triliun kepada negara dari hasil tindak pidana korupsi.
 "Kalau disimpulkan, benar ada masalah-masalah ini tapi tidak semuanya benar. Kementerian Keuangan sudah berhasil kembalikan Rp7,08 triliun dari korupsi," ucapnya.
Â
Sebelumnya Mahfud MD menjelaskan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp300 triliun merupakan akumulasi sejak 2009 yang melibatkan sebanyak 460 orang.
Â
"Itu tahun 2009 sampai 2023. Ada 160 laporan lebih sejak itu, tidak ada kemajuan informasi, sesudah diakumulasikan semua melibatkan 460 orang lebih di kementerian itu sehingga akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan itu bergerak di sekitar Rp300 triliun," kata Mahfud di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Jalan Kaliurang, Sleman, Rabu (8/3).
Â
Â
2 dari 2 halaman
Tak Direspons
Mahfud menuturkan laporan sejak 2009 terkait transaksi janggal itu tidak segera mendapat respons hingga akhirnya menumpuk.
Â
Laiknya kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, menurut Mahfud, kadang kala respons baru diberikan dan dibuka ke publik sesudah mencuat kasus di permukaan.
Â
"Kadang kala respons itu muncul sesudah menjadi kasus kayak yang Rafael. Rafael itu menjadi kasus lalu dibuka, lho ini sudah dilaporkan tapi kok didiemin gitu, baru sekarang bisa dibuka," kata dia, demikian dikutip Antara.
Â
Menurut dia, hal serupa juga pernah terjadi pada kasus tindak pidana pencucian Uang (TPPU) yang menjerat mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji.
Â
"Dulu Angin Prayitno sama, enggak ada yang tahu sampai ratusan miliar diungkap oleh KPK, baru dibuka. Nah itu saya kira karena kesibukan yang luar biasa sehingga perlu sistem saja menurut saya," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Â
Kendati demikian, Mahfud mengapresiasi upaya yang telah dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang bergerak cepat melakukan pembersihan dugaan pencucian uang di kementerian itu.
Â
 Sumber: Merdeka.com
Â
Reporter: Yunita Amalia
Â
Â
Â
Advertisement