Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan belum menerima data transaksi janggal senilai Rp300 triliun dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Surat terakhir yang diterima Kementerian Keuangan dari PPATK pada Kamis 9 Maret hanya memuat jumlah kasus dan surat yang telah dikirim tanpa ada nilai transaksi totalnya.
“Sampai hari ini di surat yang Pak Ivan (Kepala PPATK) sampaikan kepada saya hari Kamis, surat tersebut menyangkut jumlah surat yang disampaikan PPATK kepada kami dan list dari kasusnya, tidak ada angka rupiahnya,” kata Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3).
Atas izin Menko Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD, Sri Mulyani telah menghubungi langsung Ketua PPATK untuk memberikan penjelasan terkait transaksi janggal ratusan triliun.
Advertisement
“Saya tanyakan kepada Pak Ivan 'Pak Ivan Rp300 triliun seperti apa? mbok ya disampaikan saja secara jelas kepada media, siapa-siapa yang terlibat, pohon transaksinya seperti apa, dan apakah informasi itu bisa di-share ke publik, apakah informasi itu menjadi bukti hukum monggo, makin detail makin bagus’,” ungkap Sri Mulyani.
Dia meminta kepada PPATK untuk memberikan penjelasan lebih lanjut karena saat ini Kementerian Keuangan tengah melakukan upaya bersih-bersih. Sehingga makin cepat informasinya disampaikan, bakal semakin mudah bagi pihaknya melakukan pembenahan.
“Saya juga ingin tahu supaya saya tahu siapa saja yg makin terlibat sehingga pembersihan kita juga lebih cepat,” kata dia.
Dia menambahkan walaupun dalam waktu dekat Mahfud MD dalam perjalanan dinas luar negeri, Sri Mulyani akan terus meminta Ivan untuk meminta data tersebut. Tak hanya itu, dia juga akan menugaskan jajaran Kementerian Keuangan untuk segera menindaklanjuti berbagai temuan yang disampaikan PPATK.
“Saya sudah menugaskan kepada Pak Wamen, Pak Irjen, Pak Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai untuk semuanya melakukan follow up, ada data baru, kita terus tindak lanjuti,” pungkasnya.
Mahfud: Transaksi Rp 300 Triliun di Kemenkeu Bukan Korupsi tapi Pencucian Uang
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp300 triliun merupakan transaksi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dia pun menepis narasi yang mengatakan bahwa transaksi tersebut merupakan tindak pidana korupsi. "Tidak benar yang berkembang di Kementerian Keuangan ada korupsi Rp 300 triliun, bukan korupsi, tapi TPPU," ujar Mahfud di kantornya, Jumat (10/3).
Nilai transaksi yang berkaitan tindak pidana pencucian uang (TPPU) umumnya lebih besar dibanding tindak pidana korupsinya.
Sebagai contoh, ujar Mahfud, seseorang melakukan tindak pidana korupsi dengan nilai Rp 10 miliar, kemudian orang tersebut melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan keluarga dan rekan-rekan, dengan nilai yang lebih besar.
"Bukan korupsi tapi pencucian uang , ini lebih besar dari korupsi tapi tidak mengambil uang negara apalagi diambil dari uang pajak," kata dia.
Dari nilai uang uang dikorupsi, Kementerian Keuangan telah menyelamatkan uang negara senilai Rp 7,08 triliun. Jumlah tersebut berasal dari kasus-kasus yang masih berproses hingga sudah divonis pengadilan.
"Kalau dikaitkan dengan korupsi itu yang dilakukan oleh kemenkeu sudah berhasil mengembalikan Rp7,08 triliun dari korupsi dari kasus-kasus itu," katanya.
Advertisement
Transaksi Sejak 2009
Sebelumnya Mahfud MD menjelaskan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 300 triliun merupakan akumulasi sejak 2009 yang melibatkan sebanyak 460 orang.
"Itu tahun 2009 sampai 2023. Ada 160 laporan lebih sejak itu, tidak ada kemajuan informasi, sesudah diakumulasikan semua melibatkan 460 orang lebih di kementerian itu sehingga akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan itu bergerak di sekitar Rp300 triliun," kata Mahfud di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Jalan Kaliurang, Sleman, Rabu (8/3).
Mahfud menuturkan laporan sejak 2009 terkait transaksi janggal itu tidak segera mendapat respons hingga akhirnya menumpuk. Laiknya kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, menurut Mahfud, kadang kala respons baru diberikan dan dibuka ke publik sesudah mencuat kasus di permukaan.
"Kadang kala respons itu muncul sesudah menjadi kasus kayak yang Rafael. Rafael itu menjadi kasus lalu dibuka, lho ini sudah dilaporkan tapi kok didiemin gitu, baru sekarang bisa dibuka," kata dia, demikian dikutip Antara.