Sukses

Kenaikan Bunga The Fed Jadi Biang Kerok Silicon Valley Bank Bangkrut

Selepas pandemi, ada tantangan baru bagi Silicon Valley Bank, dengan aktivitas kembali normal, perusahaan teknologi yang jadi konsumen Silicon Valley Bank terpaksa melakukan langkah penghematan.

Liputan6.com, Jakarta - Silicon Valley Bank (SVB) mengalami kebangkrutan di waktu yang tak disangka. Padahal, kecukupan dana yang dihimpun Silicon Valley Bank semasa pandemi tergolong besar.

Selepas pandemi, ada tantangan baru bagi Silicon Valley Bank, dengan aktivitas kembali normal, perusahaan teknologi yang jadi konsumen Silicon Valley Bank terpaksa melakukan langkah penghematan.

Arus pendapatan pun menyempit, alhasil menurunkan jumlah karyawan setelah peningkatan besar-besaran di pandemi. Ini disinyalir jadi satu penyebab ikut runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB).

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menjelaskan, jika dilihat secara mendalam, bukan pengetatan pendapatan perusahaan teknologi yang menjadi sebab utama Silicon Valley Bank kolaps.

"tapi kenaikan suku bunga The Fed yang terjadi secara berkelanjutan. Silicon Valley Bank memang memiliki captive market yang sangat spesifik, yakni pelaku Silicon Valley. Tapi imbas pengecilan bisnis perusahaan teknologi justru tak mengganggu likuiditas Silicon Valley Bank," Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com, Selasa (14/3/2023).

Kemudian, yang terjadi adalah penyusutan likuiditas dari sisi aset sekuritas yang dipegang oleh Silicon Valley Bank, setelah suku bunga The Fed naik berkali-kali. Sebagaimana diketahui, kenaikan suku bunga The Fed akan mendongkrak 'yield' surat utang berjangka panjang, tapi mendegradasi harga (bukan yield) surat utang berjangka pendek.

Surat Utang Korporasi 

Ketika The Fed menaikan suku bunga, harga surat utang korporasi berjangka pendek atau 10 tahun ke bawah dengan yield yang ditetapkan sebelum suku bunga dinaikan akan dijual lebih murah. Alasannya karena yield surat utang di pasaran naik akibat kenaikan suku bunga the Fed, sementara yield surat utang yang diterbitkan sebelum suku bunga naik tak berubah.

"Walhasil, yield surat utang jangka pendek yang beredar sebelum suku bunga naik akan kalah kompetitif dibanding suku bunga surat utang yang diterbitkan setelah suku bunga the Fed naik dan akan dilego dengan harga yang jauh lebih rendah, biasanya di kisaran 75-80 persen harga beli awal," beber Ronny.

Dia mengungkap, selain melakukan bisnis layaknya bank konvensional untuk pelaku Silicon Valley, juga membelanjakan sekitar setengah dari dana depositnya ke pasar sekuritas seperti surat utang dan lainnya.

"Ketika Silicon Valley Bank mendapati likuiditasnya terseret turun akibat the Fed menaikan suku bunga, Silicon Valley Bank mendadak kekurangan dana dan mengumumkan bahwa SVB berniat melego asset finansial yang mereka pegang (securities)," ungkapnya.

 

2 dari 4 halaman

Tarik Dana

Kekacauan Silicon Valley Bank dimulai lagi, pengumuman yang dilakukan Silicon Valley Bank jadi alasan pemegang saham panik. Alhasil, banyak yang menjual saham dalam jumlah yang tak sedikit yang berpengaruh pada jatuhnya harga sama Silicon Valley Bank.

"Melihat harga saham Silicon Valley Bank lengser, para nasabah ikut panik dan melakukan tarik dana, yang membuat dana deposit Silicon Valley Bank mendadak mengering (dalam satu hari nasabah tarik dana plus minus USD 42 miliar). Dan all of the suden, Silicon Valley Banklangsung koma," kata Ronny.

Dia menilai langkah yang diambil Presiden AS Joe Biden dengan mengerahkan Federal Deposite Insurance Company (FDC) alias LPS-nya AS ini dinilai jadi satu langkah tepat. Meskipun, pada akhirnya tak juga bisa menyelamatkan Silicon Valley Bank.

"Artinya Amerika tidak menggunakan dana pembayar pajak (tax payer). Ini perbedaan dengan bail out tahun 2008. Kala itu, setelah Lehman Brother mati, Amerika menyelamatkan bank-bank (termasuk shadow banking) dengan membeli aset-aset sampahnya dengan uang negara. Kali ini, Biden memilih menyelamatkan nasabah dengan aturan jaminan deposito, yang eksekusinya dipegang oleh FDIC alias pakai dana FDIC," paparnya.

 

3 dari 4 halaman

Silicon Valley Bank Bangkrut, Terbesar Sejak 2008

Silicon Valley Bank (SVB) tengah menjadi sorotan karena mengalami kebangkrutan bank terbesar di Amerika Serikat sejak tahun 2008.

Melansir CNN Business, Senin (13/3/2023) kolapsnya Silicon Valley Bank menyusul serangkaikan kenaikan suku bunga Federal Reserve yang agresif ntuk menjinakkan inflasi.

Langkah itu mendorong biaya pinjaman yang tinggi, melemahkan momentum saham teknologi yang menguntungkan SVB.

Pada saat yang sama, modal ventura mulai mengering, memaksa para pengusaha start up untuk menarik dana yang disimpan di SVB.

Awal runtuhnya SVB mulai terlihat pada 8 maret 2023, ketika SVB mengumumkan telah menjual sejumlah sekuritas yang mengalami kerugian.

Disebutkan, ada USD 2,5 miliar atau Rp. 38,4 triliun saham baru yang akan dijual untuk menopang neraca keuangan. Kabar tersebut pun memicu kepanikan di antara pemodal perusahaan ventura utama, mendorong perusahaan pemodal menarik dana dari SVB.

Kemudian pada 9 maret 2023, nilai saham SVB anjlok, dan menyeret sejumlah bank lainnya ikut jatuh. Di hari berikutnya, saham SVB dihentikan dan memberhentikan upaya meningkatkan modal atau mencari pembeli.

Regulator di California akhirnya menutup SVB, setelah mengalami krisis modal selama 48 jam. Federal Deposit Insurance Corporation kemudian ditunjuk sebagai pengendali, dan mengambil alih simpanan sekitar USD 175 miliar atau sekitar Rp. 2,6 kuadriliun di bank tersebut.

 

4 dari 4 halaman

Nasabah ketar ketir

Situasi di SVB juga telah membuat sejumlah perusahaan Amerika Serikat khawatir akan dana yang mereka simpan di SVB.

"Saya sedang dalam perjalanan ke cabang untuk mencari uang saya sekarang. Mencoba mentransfernya kemarin tidak berhasil. Anda tahu saat-saat di mana Anda mungkin benar-benar kacau tetapi Anda tidak yakin? Ini salah satunya momennya," ungkap seorang pendiri start-up, dikutip dari BBC.