Liputan6.com, Jakarta Silicon Valley Bank (SVB) disebut bangkrut karena tak tahan atas kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed. Itu berdampak negatif secara terus menerus pada keuangan perusahaan.
Kenaikan suku bunga The Fed sendiri turut berpengaruh pada kenaikan suku bunga bank sentral di berbagai negara, termasuk Bank Indonesia. Dengan naiknya tingkat suku bunga, disinyalir akan berpengaruh pada kegiatan usaha, seperti perbankan.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menilai kejadian yang menimpa SVB perlu jadi cermin di Indonesia. Meski begitu, diakuinya kalau kolapsnya SVB tak berpengaruh langsung ke Indonesia.
Advertisement
"Pengaruh kolapsnya SVB ke Indonesia nyaris tidak ada. Tapi persoalannya bukan di sana. Kita tidak perlu mencari relasi SVB dengan Indonesia karena saya yakin tidak ada bank atau lembaga keuangan yang memegang aset SVB," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (14/3/2023).
Utamanya soal dampak kenaikan suku bunga ke perbankan atau usaha di Indonesia.
"Yang menjadi persoalan adalah Kita belum tau seperti apa efek kenaikan suku bunga BI yang berkali-kali kepada aset perbankan dan lembaga keuangan nasional," ungkapnya.
Ronny memandang, secara umum, komposisi penggunaan dana pihak ketiga di Indonesia cenderung lebih aman ketimbang di Amerika Serikat. Walaupun masih ada berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
"Hal tak terduga bisa saja terjadi, ketika banyak perusahaan bernasib seperti WIKA, misalnya atau banyak perusahaan yang gagal berekspansi karena biaya kredit mahal. Mari kita tunggu," katanya.
Â
Biang Kerok Bangkrutnya SVB
Silicon Valley Bank (SVB) disebut mengalami kebangkrutan ditengah waktu yang tak disangka. Padahal, kecukupan dana yang dihimpun semasa pandemi tergolong besar.
Selepas pandemi, ada tantangan baru bagi SVB, dengan aktivitas kembali normal, perusahaan teknologi yang jadi 'konsumen' SVB terpaksa melakukan langkah penghematan. Arus pendapatan menyempit, alhasil menurunkan jumlah karyawan setelah peningkatan besar-besaran di pandemi. Ini disinyalir jadi satu penyebab ikut runtuhnya SVB.
"Tapi jika dilihat secara mendalam, bukan pengetatan pendapatan perusahaan teknologi yang menjadi sebab utama SVB kolaps, tapi kenaikan suku bunga The Fed yang terjadi secara berkelanjutan. SVB memang memiliki "captive market" yang sangat spesifik, yakni pelaku Silicon Valley. Tapi imbas pengecilan bisnis perusahaan teknologi justru tak mengganggu likuiditas SVB," kata Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com, Selasa (14/3/2023).
Â
Advertisement
Likuiditas Menyusut
Kemudian, yang terjadi adalah penyusutan likuiditas dari sisi aset sekuritas yang dipegang oleh SVB, setelah suku bunga The Fed naik berkali-kali. Sebagaimana diketahui, kenaikan suku bunga The Fed akan mendongkrak 'yield' surat utang berjangka panjang, tapi mendegradasi harga (bukan yield) surat utang berjangka pendek.
Ketika The Fed menaikan suku bunga, harga surat utang korporasi berjangka pendek atau 10 tahun ke bawah dengan yield yang ditetapkan sebelum suku bunga dinaikan akan dijual lebih murah. Alasannya karena yield surat utang di pasaran naik akibat kenaikan suku bunga the Fed, sementara yield surat utang yang diterbitkan sebelum suku bunga naik tak berubah.
"Walhasil, yield surat utang jangka pendek yang beredar sebelum suku bunga naik akan kalah kompetitif dibanding suku bunga surat utang yang diterbitkan setelah suku bunga the Fed naik dan akan dilego dengan harga yang jauh lebih rendah, biasanya di kisaran 75-80 persen harga beli awal," beber Ronny.
Dia mengungkap, selain melakukan bisnis layaknya bank konvensional untuk pelaku Silicon Valley, juga membelanjakan sekitar setengah dari dana depositnya ke pasar sekuritas seperti surat utang dan lainnya.
"Ketika SVB mendapati likuiditasnya terseret turun akibat the Fed menaikan suku bunga, SVB mendadak kekurangan dana dan mengumumkan bahwa SVB berniat melego asset finansial yang mereka pegang (securities)," ungkapnya.
Â
Tarik Dana
Kekacauan SVB dimulai lagi, pengumuman yang dilakukan SVB yadi membuat pemegang saham panik. Alhasil, banyak yang menjual saham dalam jumlah yang tak sedikit yang berpengaruh pada jatuhnya harga sama SVB.
"Melihat harga saham SVB lengser, para nasabah ikut panik dan melakukan tarik dana, yang membuat dana deposit SVB mendadak mengering (dalam satu hari nasabah tarik dana plus minus USD 42 miliar). Dan all of the suden, SVB langsung koma," kata Ronny.
Dia menilai langkah yang diambil Presiden AS Joe Biden dengan mengerahkan Federal Deposite Insurance Company (FDC) alias LPS-nya AS ini dinilai jadi satu langkah tepat. Meskipun, pada akhirnya tak juga bisa menyelamatkan SVB.
"Artinya Amerika tidak menggunakan dana pembayar pajak (tax payer). Ini perbedaan dengan bail out tahun 2008. Kala itu, setelah Lehman Brother mati, Amerika menyelamatkan bank-bank (termasuk shadow banking) dengan membeli aset-aset sampahnya dengan uang negara. Kali ini, Biden memilih menyelamatkan nasabah dengan aturan jaminan deposito, yang eksekusinya dipegang oleh FDIC alias pakai dana FDIC," paparnya.
Advertisement