Liputan6.com, Jakarta Silicon Valley Bank (SVB) mengalami kebangkrutan sejak krisis keuangan tahun 2008. Salah satu hal yang memicu kondisi itu terjadi adalah kenaikan tingkat suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed. Bangrutnya SVB pun sangat mengguncang sistem keuangan global.
Berkaitan dengan ini, Direktur Utama BRI, Sunarso pun buka suara. Menurutnya, kondisi industri perbankan Indonesia saat ini dalam kondisi solid dan memiliki eksposur risiko yang minim atas bangrutnya salah satu bank di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB) tersebut.
“Perbankan di Indonesia, utamanya BRI, jauh dari episentrum krisis tersebut. Hal ini tercermin salah satunya dari permodalan yang kuat serta likuiditas yang memadai,” katanya.
Advertisement
Sunarso menambahkan bahwa hingga akhir tahun 2022, tercatat CAR BRI (konsolidasian) berada di level sangat kuat sebesar 25,54 persen dan LDR (konsolidasian) terjaga di level 87,09 persen.
Sunarso mengingatkan bahwa sebelumnya BRI berhasil melewati krisis berkali-kali, dari krisis moneter di tahun 1998 hingga krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID.
“Saat ini perbankan Indonesia sangat taat dalam penerapan BASEL dalam hal risk management-nya, sehingga pembentukan modal juga cukup tebal. Di sisi lain pengawasan dari OJK terhadap bank juga sudah sangat baik, di samping itu, Bank Indonesia juga terus men-support dalam pemenuhan likuditas,” imbuhnya.
“Saat ini kita tetap harus optimis tapi tidak jumawa dan tidak sembrono. Jadi tetap kita jalankan prinsip-prinsip good corporate governance, risk management yang baik, saya kira itu kuncinya. Jadi optimis tapi juga tetap harus hati-hati dan kita punya tools itu semua, terutama di perbankan,” tambah Sunarso.
Kronologi Bangkrutnya SVB
Silicon Valley Bank (SVB) mengalami kebangkrutan pada Jumat, 10 Maret 2023 waktu AS. Kebangkrutan tersebut dipicu oleh krisis modal yang menyebabkan kegagalan terbesar kedua dalam sejarah perbankan Amerika Serikat. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi?
Dilansi dari CNN Business, Senin (13/3/2023) kolapsnya Silicon Valley Bank menyusul serangkaikan kenaikan suku bunga Federal Reserve yang agresif guna menjinakkan inflasi. Langkah itu mendorong biaya pinjaman yang tinggi dan melemahkan momentum saham teknologi yang menguntungkan SVB.
Pada saat yang sama, modal ventura mulai pun mengering. Hal itu memaksa para pengusaha start up untuk menarik dana yang disimpan di SVB. Awal runtuhnya SVB mulai terlihat pada 8 maret 2023, ketika SVB mengumumkan telah menjual sejumlah sekuritas yang mengalami kerugian.
Terdapat USD2,5 miliar atau Rp38,4 triliun saham baru yang akan dijual untuk menopang neraca keuangan. Kabar tersebut pun memicu kepanikan di antara pemodal perusahaan ventura utama, sehingga mendorong perusahaan pemodal menarik dana dari SVB.
Pada 9 maret 2023, nilai saham SVB anjlok dan menyeret sejumlah bank lainnya ikut jatuh. Di hari berikutnya, saham SVB dihentikan dan memberhentikan upaya meningkatkan modal atau mencari pembeli.
Regulator di California akhirnya menutup SVB, setelah mengalami krisis modal selama 48 jam. Federal Deposit Insurance Corporation kemudian ditunjuk sebagai pengendali dan mengambil alih simpanan sekitar USD175 miliar atau sekitar Rp2,6 kuadriliun di bank tersebut.
(*)
Advertisement