Liputan6.com, Jakarta Prospek ekonomi Asia untuk tahun ini diperkirakan relatif kuat, karena kawasan tersebut akan mendapat manfaat dari dibukanya kembali China, meskipun perkiraan pertumbuhan global masih diwarnai ketidakpastian.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Mathias Cormann.
Baca Juga
"Prospek kami untuk Asia adalah pertumbuhan yang relatif kuat dan pemulihan yang kuat, tergantung pada tingkat risiko penurunan," kata Mathias Cormann, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (17/3/2023).
Advertisement
"Pembukaan kembali ekonomi China akan mengarah pada pertumbuhan yang lebih kuat di China, yang akan berdampak positif di seluruh Asia secara keseluruhan," bebernya kepada Asia Tonight CNA di sela-sela acara Financial Sector Conference di Riyadh, Arab Saudi.
Sementara prospek ekonomi global lebih tenang dibandingkan sebelum perang Rusia Ukraina, meskipun demikian, Cormann melihat pertumbuhan diperkirakan akan terus berlanjut.
“Dunia terus membayar mahal untuk (perang), dalam hal dampak ekonomi dan sosial," dia mengakui.
"Tapi setelah mengatakan itu, kami memperkirakan ekonomi global akan terus tumbuh. Pandangan kami hari ini sedikit lebih cerah," ujar Cormann.
Dia membocorkan, analisis terbaru OECD tentang tren dan prospek ekonomi global, yang akan dirilis pada Jumat (17/3), akan lebih positif dibandingkan dengan penilaian sebelumnya pada November 2022 lalu.
Hal ini terlepas dari meningkatnya kekhawatiran dari krisis baru-baru ini yang dialami sejumlah bank di Amerika Serikat dan Eropa.
Komentar OECD Soal Krisis Perbankan di Silicon Valley Bank
Runtuhnya tiga bank AS baru-baru ini dan gejolak baru di Credit Suisse pemberi pinjaman Swiss sekali lagi menempatkan peraturan keuangan di bawah pengawasan ketat.
Cormann menggambarkan kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) sebagai "kegagalan yang sangat signifikan". Namun dia mengatakan, telah menilai bahwa sistem perbankan global, serta AS, dikapitalisasi dengan baik.
Dengan demikian, masalah seputar SVB, Signature Bank, Silvergate Bank, dan Credit Suisse diperkirakan tidak akan mengarah pada masalah sistemik yang lebih luas, menurut Cormann.
Namun, masalah di Silicon Valley Bank juga menimbulkan pertanyaan bagi regulator, khususnya, apakah bank seharusnya diperlakukan sebagai sistem penting untuk tujuan pengawasan peraturan.
Dia pun mengakui bahwa ekonom global masih perlu mewaspadai dampak dari krisis di Silicon Valley Bank. "Ini adalah tingkat turbulensi keuangan yang meningkatkan tingkat risiko ekonomi AS dan global,” katanya.
"Kami tentu perlu memastikan bahwa kami mempelajari pelajaran dengan sangat cepat tentang apa dan mengapa krisis ini terjadi," jelasnya.
Advertisement
BI Ramal Ekonomi Global Tumbuh 2,6 Persen di 2023
Bank Indonesia (BI) mengatakan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya.
Mengutip laman resmi BI, Jumat (17/3/2023) pertumbuhan ekonomi global 2023 diprakirakan mencapai 2,6 persen. Menurut bank sentral, angka tersebut sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi di China dan penurunan disrupsi suplai global.
Selain itu, BI juga melihat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya, dengan risiko resesi yang menurun.
Tetapi BI mencatat, perbaikan prospek ekonomi global tersebut diprakirakan menaikkan harga komoditas non-energi, di tengah harga minyak yang menurun akibat berkurangnya disrupsi suplai.
"Perkembangan positif ekonomi global tersebut serta ekspektasi kenaikan upah karena keketatan pasar tenaga kerja di AS dan Eropa mengakibatkan proses penurunan inflasi global berjalan lebih lambat, sehingga mendorong kebijakan moneter ketat negara maju berlangsung lebih lama sepanjang 2023," demikian keterangan tertulis Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono.
"Pengetatan kebijakan moneter dimaksud, ditambah munculnya kasus penutupan tiga bank di AS, meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian menahan aliran modal ke negara berkembang dan meningkatkan tekanan nilai tukar di berbagai negara,"lanjutnya.
Maka dari itu, Bank Indonesia menyatakan akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah guna memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global.
Upaya itu termasuk mengantisipasi dampak rambatan penutupan bank di AS terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar Rupiah.
Ekonomi Indonesia Tetap Kuat
BI juga yakin, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat didorong oleh peningkatan permintaan domestik dan ekspor.
Bank Indonesia meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 akan bisa naik dalam kisaran 4,5-5,3 persen.
Prospek pertumbuhan ini didukung oleh konsumsi rumah tangga yang diprakirakan makin kuat sejalan dengan peningkatan mobilitas di seluruh wilayah, penjualan eceran, dan membaiknya keyakinan konsumen.
Selain itu, investasi juga solid ditopang penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN) dan peningkatan aliran masuk Penanaman Modal Asing (PMA). Prospek permintaan domestik yang meningkat juga dipengaruhi dampak lanjutan perbaikan ekspor.
Adapun ekspor barang dan jasa yang diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya. Hal ini seiring perbaikan prospek ekonomi global.
Perkembangan hingga Februari 2023 menunjukkan ekspor non migas Indonesia tumbuh tinggi, termasuk dari peningkatan ekspor batu bara, bijih logam, dan CPO ke China.
Peningkatan lainnya juga akan terjadi pada kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, ungkap BI.
Secara spasial, prospek ekspor yang lebih baik mendukung prospek ekonomi di wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) yang lebih tinggi. Berdasarkan Lapangan Usaha, prospek sektor Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran, serta Transportasi dan Pergudangan diprakirakan tumbuh kuat.
Advertisement