Sukses

Gandeng IPB, Holding PTPN Resmikan Laboratorium Riset Pengolahan Kelapa Sawit Mini

Holding Perkebunan Nuantara PTPN III (Persero) bersama Institut Pertanian Bogor (IPB), menggelar peresmian Laboratorium Riset Pengolahan Kelapa Sawit Mini, yang akan dipergunakan untuk sarana pendidikan hingga penelitian pengolahan kelapa sawit.

Liputan6.com, Jakarta Holding Perkebunan Nuantara PTPN III (Persero) bersama Institut Pertanian Bogor (IPB), menggelar peresmian Laboratorium Riset Pengolahan Kelapa Sawit Mini, yang akan dipergunakan untuk sarana pendidikan hingga penelitian pengolahan kelapa sawit.

Peresmian fasilitas tersebut, dilakukan oleh Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Mohammad Abdul Ghani dan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Arif Satria, di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, Kamis (16/03/2023).

Dalam sambutannya, Abdul Ghani menyampaikan, luas perkebunan sawit di Indonesia adalah 15 juta hektare, dengan 6 juta hektare di antaranya adalah perkebunan rakyat (PSR). Saat ini, lanjutnya, PTPN Group terus mendorong perkebunan rakyat untuk mengolah TBS menjadi CPO dan minyak merah yang kaya beta karoten, guna mencegah krisis minyak goreng seperti tahun lalu.

“Pabrik mini seperti yang dikembangkan di IPB ini menjadi salah satu contoh dan model pabrik yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit rakyat,” ujarnya.

Pendidikan Tinggi Pertanian

Lebih lanjut Abdul Ghani mengatakan, bantuan pembangunan Laboratorium Riset Pengolahan Kelapa Sawit tersebut, sebagai salah satu kepedulian PTPN III (Persero) terhadap pendidikan tinggi pertanian, khususnya dalam mendorong inovasi industri hilir seperti CPO dan minyak sawit merah.

“PTPN siap membantu IPB untuk mengembangkan model industri kecil minyak goreng dan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit, sebagai unit riset yang dikelola PT Riset Perkebunan Nusantara, salah satu anak perusahaan kami,” ujar Abdul Ghani.

Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Arif Satria, memberikan apresiasi kepada PTPN III (Persero) yang telah mendanai pembangunan fasilitas pendidikan dan penelitian tersebut.

“Ini akan sangat bermanfaat sebagai tempat untuk pendidikan, penelitian, dan magang untuk mahasiswa yang mengambil spesialisasi pengolahan kelapa sawit,” ujarnya.

 

 

 

2 dari 4 halaman

Lokasi Laboratorium

Menurut Arif, lokasi laboratorium ini sangat strategis, mengingat lahan IPB di Jonggol yang luasnya 268 hektare akan dikembangkan menjadi IPB-West Java Innovation Valley, yang memadukan pendidikan, penelitian/inovasi, bisnis, pemberdayaan masyarakat, dan edu wisata.

“Di IPB-West Java Innovation nantinya juga akan terdapat kluster kelapa sawit, Cassava (singkong), peternakan, aquaculture, green house dengan teknologi hidro dan aeroponic,” tambahnya. 

Sementara itu, Kepala Kebun Pendidikan dan Penelitian Kelapa Sawit Jonggol yang sekaligus sebagai Ketua Tim Pengelola, Sudradjat, menyampaikan bahwa kebun sawit Jonggol berperan penting dalam menyiapkan lulusan IPB yang profesional dalam teknologi budidaya.

“Dengan adanya Laboratorium Riset Pengolahan ini, maka magang dan penelitian di bidang pengolahan dapat dilakukan di Jonggol,” kata dia.

Sudradjat menjelaskan, bahwa kapasitas pengolahan kelapa sawit tesebut adalah 2 ton per jam Tandan Buah Segar (TBS) dengan pengolahan selama 20 jam, atau berkapasitas 40 ton TBS per hari. “Laboratorium ini menjadi miniatur dari pabrik besar, dimana seluruh proses pengolahan kelapa sawit dimulai dari loading TBS, perebusan, pemisahan buah, pengepresan sampai menjadi Crude Palm Oil (CPO), diproses secara otomatis seperti halnya di pabrik dengan kapasitas besar,” ujarnya.

Peresmian Laboratorium Riset Pengolahan Kelapa Sawit Mini tersebut, juga dihadiri para Wakil Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Peternakan, Direktur di lingkungan IPB, staf Direksi PTPN III (Persero), perwakilan PT RPN, serta para dosen dan mahasiswa IPB.

3 dari 4 halaman

Ditegur Jokowi dan Luhut, Mendag Kebut Pendirian Bursa Sawit Paling Lambat Juni 2023

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan berkomitmen mendirikan bursa berjangka komoditi sawit, atau bursa acuan sawit paling lambat Juni 2023.

Pria yang kerap disapa Zulhas ini mengaku terus didesak oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan agar harga acuan minyak sawit mentah (CPO) tidak lagi bergantung pada Malaysia.

"Saya bilang, Juni, Juli sudah ada paling lambat. Saya ditegur terus Pak Presiden, Pak Luhut, kok kita ngandalkan Malaysia. Kita kan lebih banyak sawitnya," ujar Zulkifli Hasan saat ditemui di acara Bulan Literasi Perdagangan Berjangka Komoditi 2023 di JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/3/2023).

Senada, Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko memproyeksikan, Indonesia bakal memiliki harga acuan sendiri untuk sejumlah komoditas unggulan semisal CPO, timah dan karet pada tahun ini.

"Untuk mewujudkan ini, maka komoditi ini harus ditransaksikan di bursa berjangka. Sehingga akan menghasilkan tata kelola perdagangan yang fair dan transparan," ungkapnya.

Tidak Mudah 

"Saya kira itu akan dibutuhkan, untuk memberikan keuntungan bagi petani, pedagang, pengusaha, bahkan dari segi penerimaan pajak," kata Didid.

Namun, ia menyadari pembentukan bursa komoditi yang mampu menghasilkan referensi harga tidaklah mudah. Oleh karenanya, Didid berharap ada sinergitas dari semua pihak, termasuk pelaku usaha agar itu bisa terwujud di 2023 ini.

"Setidaknya, di tahun 2023 di bulan Juni, kamu sudah berencana memasukan CPO ke dalam bursa komoditi. Diharapkan dua bulan berikutnya akan terbentuk price discovery. Sehingga pada akhir tahun bisa diharapkan adanya price reference untuk CPO," tuturnya.

4 dari 4 halaman

Bursa Acuan Sawit Bisa Jalan Baik, Asal Kuota Ekspor Diubah

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mendukung penuh program Menteri Perdagangan (Mendag) yang minta segera dibentuk indeks atau bursa harga acuan sawit. 

Menurut dia, pembentukan bursa acuan sawit bakal membuat Indonesia berdaulat tentukan harga komoditas kelapa sawit tersebut. Namun, pemerintah dinilainya perlu membuat kebijakan yang membatasi porsi penjualan yang masih berorientasi pada pasar ekspor.

"Pola bisnis sawit kita itu 40 persen domestik, 60 persen ekspor. Kalau saya sarankan, selama kita tergantung pada volume ekspor, itu akan sulit berjalan," ujar Sahat saat dijumpai di Kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Oleh karenanya, ia mendorong Kementerian Perindustrian dan Kementerian Investasi/BKPM untuk membuat regulasi supaya pelaku industri sawit bisa fokus pada pasar domestik, dan membatasi kuota ekspor.