Sukses

Rupiah Digital dan Kripto Bisa Ganggu Stabilitas Ekonomi, BI Ajak ASEAN Duduk Bareng Bahas Mitigasi Risiko

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, transaksi rupiah digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) memiliki risiko terhadap perekonomian nasional bahkan regional.

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, transaksi rupiah digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) memiliki risiko terhadap perekonomian nasional bahkan regional. Hal yang sama juga terjadi dengan kripto.

Untuk mencegah adanya risiko dari transaksi rupiah digital dan kripto tersebut, Bank Indonesia memandang perlu adanya pembahasan bersama dengan negara kawasan regional dalam pertemuan ASEAN Finance Minister and Central Bank Governors (AFMGM) di Bali pekan ini.

“Kita akan membahas risiko dan implikasi (aset kripto) terutama makro impact financial impact-nya. (Sebab kami ) bersama meyakini ada risiko,” kata Dody di Hotel Hilton, Nusa Dua, Bali, dikutip Selasa (28/3/2023).

Transaksi kripto memiliki risiko terhadap penerbitan rupiah digital. Tak hanya itu, rupiah digital yang diterbitkan juga akan memberikan dampak pada aliran modal karena volatilitasnya menjadi lebih cepat.

“Ini digital currency, CBDB (rupiah digital) pun yang dikeluarkan bank sentral akan berpengaruh dan berdampak ke aliran modal,” kata dia.

Dody mengatakan bank sentral harus kembali meninjau ulang dampaknya terhadap ekonomi makro ketika terjadi volatilitas yang tinggi dalam penggunaan rupiah digital. Mengingat secara bentuk sulit untuk dikontrol bank sentral dalam konteks perdagangan. Apalagi hal ini bisa berdampak langsung terhadap tingkat inflasi.

"Kalau sulit kita kontrol, sulit mengontrol barang dan jasa, karena penggunaan mata uang digital, ujungnya pada inflasi," kata Dody.

Makanya transaksi aset kripto dan penerbitan rupiah digital harus dilihat secara keseluruhan. Utamanya terhadap dampak ekonomi makro yang tidak hanya di regional ASEAN, tapi seluruh negara di dunia.

Kesenjangan Data 

Menurutnya, salah satu hal yang tersulit dalam mengawasi transaksi aset kripto maupun CBDC adalah mengenai kesenjangan data. Sebab aset kripto tidak bisa diawasi secara langsung oleh bank sentral, sedangkan rupiah digital mendapat pengawasan penuh. Sehingga, cara memitigasi terhadap kedua transaksi ini akan menjadi tantangan.

"Paling sulit adalah data gap bisa kita peroleh atau tidak karena kebijakannya yang akan kita keluarkan untuk kripto maupun CBDC yang akan kita lakukan. Kalau data gap-nya muncul, itu yang menyulitkan otoritas," paparnya.

Untuk itu isu yang dibahas dalam AFMGM pekan ini pada data gap initiative dan masalah digital yang tidak mudah didapat karena ini merupakan buah dari perkembangan teknologi.

Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia akan membahas masalah kripto dan rupiah digital agar bisa mendapatkan pemahaman bersama, untuk bisa memitigasinya dengan tepat.

"Di ASEAN ini akan membahas kripto ini dan kembali ke masing-masing negara dan punya pemahaman, impact yang harus kita antisipasi. Dan BIS (Bank for International Settlements) punya aturan untuk kripto dan akan jadi referensi di masing-masing negara)," pungkasnya Dody.

2 dari 3 halaman

BI Terbitkan Rupiah Digital, Bagaimana Nasib Uang Kertas?

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) saat ini sedang menggarap Proyek Garuda yang merupakan sebuah inisiatif yang memayungi eksplorasi desain Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Rupiah Digital.

Bahkan, Bank Indonesia telah menerbitkan white paper terkait pengembangan CBDC atau Rupiah Digital pada 30 November 2022 lalu.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, pada prinsipnya rupiah digital sama dengan alat pembayaran berupa uang logam dan kertas. Feature-feature yang ada dalam uang kertas dan logam seperti foto pahlawan Soekarno dan Mohammad Hatta, dan logo Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tersedia di rupiah digital.

Lantas jika rupiah digital sudah resmi menjadi alat pembayaran, bagaimana nasib uang kartal atau uang fisik?

Perry mengungkapkan, salah satu tujuan Pemerintah akan menerbitkan Rupiah Digital adalah guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Meskipun sebagian masyarakat masih ada yang menggunakan alat pembayaran konvensional yakni menggunakan uang kertas, ada juga yang menggunakan uang elektronik berupa kartu ATM debit maupun mobile banking.

Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat juga membutuhkan alat pembayaran untuk rupiah digital. Oleh karena itulah, Bank Indonesia mempersiapkan pelayanan bagi masyarakat untuk menggunakan rupiah digital.

"Masyarakat kita secara demografi ada yang masih ingin menggunakan alat pembayaran kertas. Ada yang masih ingin menggunakan alat pembayaran berbasis rekening. Tapi anak-anak, cucu-cucu kita itu memerlukan pembayaran digital," kata Perry dalam acara BIRAMA Talkshow "Meniti Jalan Menuju Digital Rupiah”, Senin (5/12/2022).

3 dari 3 halaman

Uang Fisik Masih Berlaku

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Gubernur Bank Indonesia/Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Filianingsih Hendarta menegaskan uang fisik masih berlaku digunakan, meskipun nanti rupiah digital beredar.

"Ini (uang fisik) akan tetap ada. Tetapi kami menyediakan tadi, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," ujar Filianingsih.

Menurutnya, masyarakat memiliki cara dan pilihan masing-masing dalam bertransaksi. Namun, jika dilihat generasi milenial cenderung menggunakan uang digital. Sedangkan, non milenial sering menggunakan uang fisik.

"Ibu-ibu kalau di dompetnya Rp 50 ribu, dia bergegas ke ATM. Itu behavior. BI sebagai otoritas menyediakan uang, kita memberikan opsi. Jadi, yang mau pakai fisik silahkan, mau digital silahkan," ujarnya.

Namun, Bank Indonesia sendiri belum bisa memberikan informasi lebih lanjut kapan rupiah digital resmi digunakan. Tapi dirinya berharap Rupiah Digital bisa segera terbit.

"Sesiapnya, mudah-mudahan tidak terlalu lama," pungkasnya.