Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama BRI, Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI di Jakarta (28/3/2023) mengatakan bahwa Indonesia akan mampu bertahan dari ancaman risiko resesi, dengan potensi resesi sebesar 2 persen di 2023. Keyakinan tersebut didasari oleh perhitungan yang dilakukan BRI dengan metode Markov Switching Dynamic Model (MSDM).
Sunarso mengatakan bahwa metode ini memperkuat evaluasi dan analisa Bloomberg sebelumnya, serta telah terbukti secara akurat pada kasus terdahulu.
Baca Juga
“Alhamdulillah hasil analisis menunjukkan bahwa potensi resesi kita di Indonesia pada tahun 2023 ini hanya 2 persen. Metode ini telah secara akurat memproyeksi resesi di Indonesia pada ASEAN Financial Crisis tahun 1998 dan saat pandemi COVID-19 pada 2020 lalu,” ujarnya.
Advertisement
Sunarso juga menambahkan, terdapat dua faktor yang membuat ekonomi Indonesia relatif bertahan dan memiliki resiliensi tinggi. Pertama, masih kuatnya konsumsi domestik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Kedua, optimisme dari pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai mayoritas usaha di Indonesia.
“Jadi masih kuatnya konsumsi domestik ternyata memang menjadi driver utama pertumbuhan GDP Indonesia. Maka kemudian berbagai upaya harus kita arahkan ke penguatan daya beli masyarakat, peningkatan konsumsi, penggunaan produk-produk dalam negeri. Itu yang harus kita dorong supaya benar-benar create job. Dan kemudian adanya optimisme”, jelasnya.
Aktivitas UMKM Meningkat
Guna menjadi tolak ukur dalam menunjukkan tingkat optimisme para pelaku UMKM, Indeks UMKM BRI memperlihatkan bahwa aktivitas UMKM terus meningkat pada kuartal IV tahun 2022. Hal ini didasari oleh kenaikan rata-rata omzet, penggunaan tenaga kerja, dan lainnya.
Kenaikan tersebut terlihat dari mulanya hanya 103 meningkat ke 105. Dengan itu, selama satu kuartal ke depan (Januari hingga Maret 2023), aktivitas UMKM masih sangat baik.
Dari tolak ukur tersebut juga terlihat bahwa kepercayaan pelaku UMKM terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi semakin meningkat. Mulanya, indeks kepercayaan berada di angka 127 kini menjadi 138.
Advertisement
Faktor Kejatuhan
Sebelumnya, Sunarso menjabarkan identifikasi dan pelajaran yang bisa dipetik dalam kasus SVB dan Credit Suisse. Di antaranya, kedua bank ini mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan yang dihasilkan dari tak adanya antisipasi terhadap risiko ganda (multiple risk). Mulai dari reputational risk yang dihasilkan pemberitaan penjualan saham perusahaan oleh para petinggi dan soal unreleased loss.
Kemudian liquidity risk, yang mana tidak tersedianya likuiditas memadai untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, diperparah dengan contingency funding plan yang gagal dan maturity mismatch asset. Kemudian yang tak jauh berbahaya yakni adanya kenaikan suku bunga transaksi setempat (fed fund rate) dari 0,25 persen menjadi 4,75 persen sehingga menyebabkan market risk.
“Ini menyebabkan unreleased loss yang IFRS yaitu available for sale naik hingga 15,54 persen terhadap modal. Jadi IFRS-nya, aset-aset dia yang available for sale itu menjadi berpotensi rugi," kata Sunarso.
"Jadi modalnya akan langsung berkurang sebesar itu potensinya. Begitu dieksekusi menjadi benar-benar real loss, menjadi sangat berbahaya. Ini berpengaruh terhadap liquidity risk dan juga permodalan,” tambahnya.
Terakhir, risiko yang sangat berbahaya juga dari concentration risk, di mana nasabah mengumpulkan portfolio surat berharga hanya terkonsentrasi di sektor startup dan teknologi. Kemudian juga tidak tersedianya Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dari regulator (rule of regulatory), kelonggaran kewajiban Loan Coverage Ratio (LCR), dan juga net stable funding ratio.
(*)