Sukses

Mata Uang Mesir dan Iran Masuk Daftar Mata Uang Terburuk Dunia di 2023

Pound Mesir saat ini menempati peringkat keenam sebagai mata uang dengan kinerja terburuk sejak 1 Januari 2023.

Liputan6.com, Jakarta Pound Mesir telah anjlok hampir 20 persen terhadap sejak awal tahun 2023, dengan beberapa analis memperkirakan bahwa mata uang tersebut mungkin masih memiliki kemungkinan untuk menurun lebih jauh.

Melansir CNBC International, Rabu (5/4/2023) Pound Mesir saat ini menempati peringkat keenam sebagai mata uang dengan kinerja terburuk sejak 1 Januari 2023.

Mata uang tersebut diperdagangkan di sekitar 30,85 per dolar AS pada Rabu (5/4). Pada akhir Maret 2023, pound Lebanon juga menempati posisi teratas mata uang paling bermasalah sejak awal tahun, terdepresiasi sebanyak 70 persen, diikuti oleh bolivar Venezuela dan dolar Zimbabwe.

Mata uang Timur Tengah lainnya, yaitu rial Iran, menduduki peringkat kelima dengan kinerja terburuk di dunia.

"Penurunan tajam ini bukanlah hal baru, karena ketiga mata uang (Timur Tengah) menghadapi masalah endemik yang serius," kata Steve Hanke, seorang profesor ekonomi terapan di Universitas Johns Hopkins yang memantau mata uang bermasalah.

Mesir dalam beberapa waktu terakhir telah dihadapi dengan masalah ekonomi yang disertai dengan penurunan drastis poundnya.

Inflasi utama Mesir pada bulan Februari telah mencapai level tertinggi lebih dari lima tahun — meroket 31,9 persen year on year yang didorong oleh melonjaknya harga pangan, yang telah diperburuk oleh perang Rusia Ukraina.

Mesir adalah pengimpor gandum terbesar, di mana Ukraina dan Rusia merupakan salah satu pemasok utamanya.

 

2 dari 4 halaman

Inflasi Menambah Tekanan pada Pound Mesir

Ekonom Goldman Sachs Farouk Soussa dalam laporan penelitian pada 9 Maret mengatakan, "lintasan inflasi yang meningkat menambah tekanan pada Pound Mesir, yang telah diperdagangkan relatif datar sejak devaluasi pada awal Januari meskipun ada tanda-tanda jelas kekurangan likuiditas FX yang sedang berlangsung".

Dia memperkirakan inflasi Mesir akan mencapai puncaknya di sekitar 36 persen pada kuartal ketiga, jika tidak ada lagi devaluasi.

"Risiko pelemahan Pound lebih lanjut dalam waktu dekat tinggi, terutama dalam konteks tinjauan pertama di bawah program IMF," katanya.

3 dari 4 halaman

Bantuan IMF

Dana Moneter Internasional pada Desember 2022 lalu menyetujui pinjaman senilai USD 3 miliar untuk menyelamatkan ekonomi Mesir.

Namun, hal itu bergantung pada komitmen negara terhadap reformasi ekonomi selama empat tahun ke depan.

Pada bulan Januari, IMF juga memperkirakan kesenjangan keuangan di Mesir mencapai sekitar USD 17 miliar selama empat tahun ke depan. Kesenjangan keuangan mengacu pada berapa banyak devisa yang dibutuhkan suatu negara untuk melunasi utangnya.

Bank sentral Mesir baru-baru ini pada 30 Maret menaikkan suku bunga utamanya sebesar 200 basis poin dalam upaya menjinakkan inflasi.

"Komite Kebijakan Moneter menekankan bahwa mencapai sikap moneter yang ketat adalah kondisi yang diperlukan untuk mencapai target inflasi mendatang, CBE rata-rata 7 persen (± 2 poin persentase) pada Q4 2024," kata IMF dalam sebuah pernyataan, menambahkan bahwa gangguan pada rantai pasokan domestik telah menjadi pendorong utama inflasi.

Namun, Soussa dari Goldman ragu bahwa langkah tersebut akan menghasilkan pelonggaran yang substansial.

"Kami pikir kenaikan itu terlalu kecil untuk mengkatalisasi arus masuk modal yang signifikan, dan dengan demikian tidak mungkin mengurangi tekanan pada pound atau mengatasi masalah kelangkaan valuta asing yang dihadapi ekonomi," katanya dalam catatan terpisah pada 31 Maret.

"Inflasi tampaknya hanya akan meningkat lebih lanjut di Mesir dalam beberapa bulan mendatang,

 

4 dari 4 halaman

Apa Kata Para Ahli?

Senada, Simon Ballard dari First Abu Dhabi Bank dalam sebuah laporan juga melihat bahwa "inflasi tampaknya hanya akan meningkat lebih lanjut di Mesir dalam beberapa bulan mendatang".

Ballard, dalam laporan penelitian terpisah, merevisi turun pertumbuhan PDB Mesir untuk tahun fiskal 2022/2023 dari 5,7 persen menjadi 4,75 persen. 

Dia juga menambahkan bahwa dia mengharapkan bank sentral untuk "memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada mempertahankan pound" selama tahun ini.

Angus Blair, CEO Signet Institute, mengatakan bahwa Mesir perlu "benar-benar bergerak dengan cepat untuk melakukan perubahan".

"Kita perlu melihat kehati-hatian yang lebih besar dan memperhatikan di mana modal dibelanjakan untuk proyek infrastruktur tertentu," katanya.

"Saya pikir harus ada perhatian yang lebih besar untuk memprioritaskan yang lebih baik, di mana pengeluaran pemerintah seharusnya ... Ada pasar internal yang sangat tidak efisien yang harus diperhatikan oleh pemerintah," tambah dia.