Sukses

Dibayangi SVB Effect, Kredit Bank di Indonesia Bakal Tetap Tumbuh hingga 12 Persen

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) prediksi penyaluran kredit perbankan di Indonesia tetap tumbuh hingga 12 persen pada 2023 meski ada SVB effect.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) prediksi penyaluran kredit perbankan di Indonesia tetap tumbuh sekitar 10-12 persen pada 2023. Prediksi pertumbuhan kredit bank itu meski ada penutupan perbankan di Amerika Serikat (AS) termasuk efek dari Silicon Valley Bank (SVB) atau SVB effect.

“Kalau melihat dari pertumbuhan kredit yang terjadi pada Februari 2023 dan angka-angka awal pada Maret yang baru lewat ini, kita masih menyaksikan pertumbuhan kredit tetap berada dalam kisaran double digit atau 10 persen ke atas,” ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar saat konfrensi pers, Senin, 3 April 2023, dikutip dari Antara, Rabu (5/4/2023).

Dengan demikian, hal itu menunjukkan penyaluran kredit berjalan efektif dan dapat mencapai target 10-12 persen secara tahunan sepanjang 2023.

Sementara itu, Loan to Deposit Ratio (LDR) pada Februari 2023 tercatat 79,8 persen menunjukkan perbankan masih berpeluang dongkrak pinjaman. Peluang tersebut juga ditopang oleh kecukupan modal perbankan yang masih baik seiring rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 26,10 persen atau naik 25,88 persen pada Januari 2023.

“Melihat kondisi di perbankan kita dan rasio-rasio tersebut, sebetulnya rencana capai target yang telah ditetapkan pada 2023 akan dapat terus dijalankan dengan konsisten,” ujar dia.

Mahendra menuturkan, stabilitas sektor saham keuangan masih terjaga dengan jasa intermediasi lembaga keuangan yang meningkat serta permodalan dan likuiditas yang masih memadai.

Mahendra menuturkan, kondisi tersebut menjadi modalitas penting dalam hadapi dinamika global.

“Maret 2023, laju pengetatan kebijakan moneter yang cepat mulai menekan stabilitas sektor keuangan global dengan bergejolaknya sistem perbankan global akibat penutupan beberapa bank di Amerika Serikat dan Eropa,” ujar dia.

Mahendra juga apresiasi otoritas keuangan di Amerika Serikat (AS) yang telah bertindak cepat mencegah dampak penularan dari penutupan perbankan.

“Di sisi lain kinerja pertumbuhan ekonomi global pada 2023 secara umum masih resilien sebagaimana ditunjukkan oleh pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang masih solid dan tekanan inflasi yang mereda, meski masih berada di tingkat tinggi,” ujar dia.

2 dari 5 halaman

OJK Hadiri Pertemuan Basel di Hong Kong, Bahas Risiko Perbankan Global

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae telah menghadiri pertemuan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada 22 – 23 Maret 2023 di Hong Kong.

Di acara itu, juga membahas perkembangan terkini kondisi perbankan global yang sedang mengalami tekanan dan pentingnya perbankan untuk kembali pada praktek-praktek perbankan yang sehat. tentunya dalam praktek ini, dengan menjaga keseimbangan manajemen aset dan kewajiban, rasio modal yang memadai serta ketersediaan likuiditas pada rentang yang aman.

BCBS menilai bahwa kondisi makroekonomi global saat ini sedang dalam tataran yang sangat dinamis. Pergerakan inflasi global yang sedang meningkat akibat disrupsi rantai pasok komoditas dan energi telah direspons dengan kenaikan suku bunga di berbagai yurisdiksi. Kondisi demikian pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi global. Perubahan kondisi makro yang demikian cepat ini sangat memberi tekanan pada industri keuangan khususnya perbankan.

 

 

3 dari 5 halaman

Dampak Penutupan Silicon Valley Bank

Penutupan Sillicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat yang pada dasarnya dipicu masalah teknis individu bank terkait mismatch asset & liabilities management yang tidak di-cover dengan ketersediaan likuiditas dan modal yang memadai telah memicu permasalahan psikologis dengan turunnya kepercayaan pada institusi keuangan. Dampaknya, penurunan kepercayaan tersebut telah memberi efek rembetan pada beberapa bank lain dan menyebar lintas yurisdiksi.

BCBS mengambil berbagai pembelajaran tersebut dengan antara lain mereview Basel Core Principle dengan menyepakati dimasukkannya aspek makroprudensial dalam prinsip-prinsip yang perlu mendapat perhatian industri perbankan global.

BCBS juga menekankan kembali perlunya industri perbankan untuk kembali pada konsep dasar pengelolaan perbankan yang sehat dengan menjaga keseimbangan pengelolaan aset dan kewajiban (asset & liabilities management), senantiasa menjaga kecukupan modal sebagai penyangga risiko dengan mengantisipasi potensi kerentanan yang mungkin terjadi, memastikan ketersediaan likuiditas yang memadai untuk menjaga kepercayaan nasabah, dan secara reguler melakukan stress test pada berbagai skenario.

 

4 dari 5 halaman

Butuh Kerja Sama

BCBS menegaskan perlunya kerja sama antarotoritas untuk bertindak cepat dalam menghadapi permasalahan bank dalam rangka menjaga kestabilan sistem keuangan global.

Dian Ediana Rae menilai kerentanan yang saat ini terjadi di perbankan global terutama dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudensial yang tetap di atas rata-rata perbankan global. Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 25,93 persen dan sekitar 85 persen komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti (Tier 1 capital; CET 1).

Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52 persen dan Eropa sebesar 16,13 persen. Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 232,22 persen dan 134,58 persen.

Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di Amerika sebesar 120,43 persen dan 123,20 persen serta perbankan di Eropa sebesar 152,39 persen dan 120,21 persen.

Belajar dari kegagalan SVB, BCBS juga terus menekankan pentingnya kecukupan rasio modal dan ketersediaan likuiditas yang memadai. Biaya modal (cost of capital) serta ketersediaan likuiditas dalam jumlah yang cukup memang dianggap mahal dan tidak efisien.

Namun BCBS juga mengingatkan bahwa keterbatasan modal dan likuiditas akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar apabila industri perbankan gagal dalam mengantisipasi pergerakan/gejolak makroekonomi global dan gagal dalam menjaga kepercayaan masyarakat.

 

5 dari 5 halaman

Biaya Ekonomi dan Sosial

Biaya ekonomi dan sosialnya akan sangat besar dan jauh lebih mahal terlebih apabila hal tersebut memicu efek rembetan (spill over effect) secara global. Kasus kegagalan SVB atau Lehman Brother sebelumnya telah memberi pelajaran yang sangat berharga.

Sejalan dengan arah BCBS, Dian Ediana Rae meminta perbankan Indonesia untuk terus memperkuat penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan prinsip kehati-hatian antara lain dengan melakukan stress testing dan pemantauan terhadap portofolio aset dan liabilitas bank termasuk risiko konsentrasi pada pinjaman dan pendanaan.

Saat ini, Dian Ediana Rae mencermati bahwa aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Selanjutnya dalam menyikapi kasus SVB dan efek rembetannya, meski dampaknya minimal pada industri perbankan Indonesia, Dian Ediana Rae menekankan kepada perbankan agar prinsip-prinsip dasar kehati-hatian terus menjadi perhatian.

Rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi harus tetap dijaga. Praktek-praktek excessive risk taking behaviour yang spekulatif harus dihindari. Selain itu, untuk menguji katahanan perbankan, secara regular perbankan diminta melakukan stress test pada berbagai skenario.

Sangat disadari bahwa dinamika global dan kebijakan makroprudensial yang cepat perlu terus diantisipasi dengan seksama. Tensi geopolitik global dan volatilitas kondisi pasar masih akan terus terjadi dengan berbagai dinamikanya. Sepanjang prinsip kehati-hatian dan praktek-praktek perbankan yang sehat terus dijaga, perbankan Indonesia akan tetap resilien dan akan terus bertumbuh dengan sehat sebagaimana kondisi saat ini.

Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa OJK akan terus memperkuat koordinasi antarotoritas terutama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Keuangan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna memastikan stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga.