Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali mengingatkan kewaspadaan pada dampak krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa, terhadap perekomonian di Tanah Air.
Seperti diketahui, bank pemberi pinjaman di Amerika Serikat yakni Silicon Valley Bank dan Signature Bank tengah dilanda krisis keuangan, juga bank terbesar kedua di Eropa, Credit Suisse.
Baca Juga
Sri Mulyani melihat, jatuhnya bank SVB (Silicon Valley Bank), Signature Bank menimbulkan banyak sekali perhatian mengenai seberapa resilient lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Eropa.
Advertisement
"Coba kita lihat, kalau seluruh negara biasanya goyang, nilai tukarnya goyang, semua larinya ke Swiss Franc, sama seperti Amerika Serikat. Persepsi stability itu sekarang hancur dengan munculnya persoalan (tersebut)," ujar Sri Mulyani dalam acara Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2023 yang disiarkan di laman Youtube Bappenas pada Kamis (6/4/2023).
Ini merupakan sesuatu yang harus kita waspadai, menurut Menkeu, karena Amerika dan Eropa dalam menaikkan suku bunga secara ekstrim untuk mengendalikan inflasi memberikan dampak yang tidak kecil pada stabilitas sektor keuangannya.
Pilihan Kebijakan
Menkeu mengakui, pilihan pilihan kebijakan tersebut bisa menjadi sangat dilematis. Karena harus menghadapi antara memilih stabilitas, dari sisi pengendalian inflasi, atau stabilitas dari lembaga keuangan.
"Banyak situasi sebagai policy makers sering kita dihadapkan pada pilihan yang di mana kedua tidak ingin kita pilih, karena dua duanya dianggap penting, sama seperti memilih antara Ayah dengan Ibu. Itu adalah kondisi policy makers yang paling sulit yaitu pada saat dihadapkan dengan dilema atau dalam bahasa teknisi ekonominya, trade off : pilihan yang tidak mengenakkan," beber Sri Mulyani.
"Environment inilah yang sedang berjalan untuk kita semua kelola, di tahun 2023. Alhamdulillah untuk Indonesia, guncangan guncangan ini pasti tidak akan seratus persen kita rasakan," ungkap Sri Mulyani.
IMF Peringatkan Risiko Krisis Perbankan di AS dan Eropa
Krisis perbankan baru-baru ini di Amerika Serikat dan Eropa dikhawatirkan dapat menyebar ke lembaga non-bank penting seperti dana pensiun, yang semakin memperumit perjuangan bank sentral meredam tingginya inflasi yang tinggi.
Hal itu diungkapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) pada Selasa (4/3).
Mengutip Channel News Asia, Rabu (5/4/2023) ekonom IMF dalam postingan blog menuliskan bahwa "(risiko perbankan) dapat meningkat dalam beberapa bulan mendatang di tengah berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter secara global".
Risiko ini juga dikhawatikan dapat menyebar ke sektor non-bank yang saling berhubungan, yang sekarang memegang hampir setengah dari seluruh aset keuangan global
Postingan blog IMF diterbitkan di waktu yang sama dengan laporannya tentang stabilitas keuangan global.
Seperti diketahui, ank-bank sentral di AS dan Eropa telah bekerja keras untuk mengatasi inflasi yang tinggi dengan menaikkan suku bunga, tanpa menambah gejolak di sektor perbankan yang dipicu oleh keruntuhan dramatis Silicon Valley Bank.
Pemberi pinjaman itu kolaps setelah mengambil risiko suku bunga yang berlebihan, yang membuatnya terlalu terekspos ketika bank sentral AS memulai kampanye kenaikan suku bunga yang agresif.
Non-bank financial intermediaries (NBFI) seperti dana pensiun dan investasi telah tumbuh secara dramatis sejak krisis keuangan global tahun 2008, ketika regulator bergerak untuk memperketat aturan tentang bank.
IMF melihat, NBFI sangat terkait dengan bank tradisional, dan dapat "menjadi saluran amplifikasi penting dari tekanan keuangan".
Untuk mengatasi masalah ini dengan benar, IMF mengatakan pembuat kebijakan perlu menggunakan berbagai cara, termasuk memberlakukan pengawasan dan regulasi sektor yang lebih kuat, dan mendorong perusahaan untuk berbagi lebih banyak data tentang risiko yang mereka ambil.
Advertisement
Silicon Valley Bank Kolaps, Sri Mulyani Pelototi Krisis Perbankan di AS dan Eropa
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pihaknya memantau dengan cermat pada situasi krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa.
Hal itu disampaikan Menkeu dalam acara Gala Seminar ASEAN 2023: “Enhancing Policy Calibration for Macro Financial Resilience” pada Rabu sore (29/3).
"Sekarang kita mengerti bahwa situasi di Amerika Serikat dan Silicon Valley Bank, di mana bank yang memegang obligasi pemerintah, tingkat suku bunga yang sangat curam oleh Federal Reserve memengaruhi harga. Jadi market to market pasti akan menggerus neraca mereka," kata Sri Mulyani dalam paparannya di Bali Nusa Dua Convention Center 1 (BNDCC 1), Nusa Dua, Bali pada Rabu (29/3/2023).
"Jadi Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga penjaminan simpanan kita melihat dengan kewaspadaan tinggi pada episode yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa," jelasnya.
Menkeu mengatakan, pihaknya terus melakukan diskusi dan stress test, bahwa masalah ini tidak akan sampai menjadi kejutan potensi risiko yang mungkin datang dari dinamika yang sangat berbeda.
"Dan itulah mengapa dalam kalibrasi kebijakan, ketika kami memiliki waktu untuk berkonsolidasi, kami harus berkonsolidasi, melakukannya dengan cara yang sangat kredibel dan transparan, sehingga kami dapat membuat buffer karena kami benar-benar tidak tahu apakah 6 bulan atau 12 bulan ke depan situasinya tidak akan menguntungkan dan Anda membutuhkan semua kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian," imbuhnya.
Dilanjutkan Sri Mulyani, kebijakan memainkan peran yang sangat penting sebagai shock absorber counter cyclical policy.
"Masalah ekonomi mana pun akan berada dalam situasi yang sangat sulit, ketika kebijakan Anda menjadi prosiklikal. Saat ada cycle down malah bikin tambah parah, saat cycle up malah bikin overheat," ujarnya.