Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengalokasikan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 136 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Besaran Dana Bagi Hasil ini sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah dan Badan Anggaran DPR-RI saat pembahasan APBN 2023.
“Total alokasi Dana Bagi Hasil Rp 136,3 triliun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawari dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (11/4/2023).
Dari ratusan triliun tersebut, pemerintah mengalokasikan DBH sawit sebesar Rp 3,4 triliun. Penambahan DBH Sawit tahun ini dilakukan dalam rangka memberikan dukungan pembangunan infrastruktur hingga industri sawit di daerah.
Advertisement
“Alokasi DBH tersebut termasuk di dalamnya untuk DB Sawit yang telah kita identifikasi sebesar Rp 3,4 triliun sesuai dengan kesepakatan DPR dan pemerintah,” katanya.
Sri Mulyani menjelaskan, alokasi DBH Sawit bersumber dari pungutan ekspor dan bea keluar sawit. Besarnya DBH Sawit minimal 4 persen dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Dapat DBH Sawit Minimal Rp 1 Miliar per Daerah
Adapun formula pembagiannya yakni provinsi sebesar 20 persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 60 persen dan kota/kabupaten berbatasan 20 persen. Dengan formula tersebut, pemerintah telah menetapkan minimal DBH yang diterima setiap wilayah yakni Rp 1 miliar.
“Beberapa bulan paja ekspor dan bea keluar ini 0 penerimaannya, maka jumlahnya menjadi terlalu kecil. Karena daerah nanti bakal dapat yang paling kecil, maa minimal dapat Rp1 miliar,” kata dia.
Total penerima DBH Sawit tahun 2023 sebanyak 350. Terdiri dari 30 provinsi, 240 kabupaten/kota penghasil dan 80 kabupaten/kota berbatasan.
“350 daerah tersebut termasuk 4 daerah otonomi baru (DOB) provinsi Papua,” kata Sri Mulyani.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Dana Bagi Hasil 2022 Melonjak, Ini Sebabnya
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyebut Dana Bagi Hasil 2022 mengalami lonjakan yang sangat tinggi. Hal itu disampaikan Menkeu dalam konferensi pers APBN KITA November 2022, Kamis (24/11/2022).
“Untuk TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) tahun ini kita lihat Dana Bagi Hasil mengalami lonjakan yang sangat tinggi. Ini bisa dilihat yaitu yang dibagi hasilkan dengan kenaikan harga-harga komoditas, maka daerah juga akan mendapatkan bagi hasil,” ungkap Sri Mulyani.
Adapun penyaluran Transfer ke Daerah (TKD) sampai dengan 31 Oktober 2022 secara nominal mengalami pertumbuhan sebesar 5,7 persen, tersalur sebesar Rp 679,23 triliun atau 84,4 persen dari total alokasi TKDD 2022 berdasarkan pagu perpres 98, capaian ini lebih tinggi dibandingkan Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp 642,63 triliun.
Sementara itu, penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) tercatat lebih tinggi karena kurang bayar dana bagi hasil (KB DBH) 2021 telah disalurkan sebesar Rp 22,9 triliun, serta DBH Reguler Tahun Anggaran 2022 telah disalurkan sebesar Rp 91,85 triliun lebih tinggi dibandingkan Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp 53,88 triliun.
"Pemerintah sudah menaikkan DBH pada tahun lalu sebesar Rp 19,47 triliun. Namun tahun ini naik lebih tinggi lagi Rp 114,7 triliun," kata Menkeu.
Lebih lanjut, kinerja penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik lebih rendah karena dua hal, yakni pertama, penurunan kinerja penyampaian laporan dana TPG sebagai syarat penyaluran oleh Pemda tahun ini lebih sedikit (salur tahap III=345 daerah) dibandingkan tahun lalu (salur tahap III=520 daerah).
Kedua, karena terdapat sisa dana BOS tahun 2020-2021 sebesar Rp 850 miliar di rekening sekolah berdasarkan hasil verifikasi Kemendikbudristek.
Penyaluran dana BOS tahap II dan III memperhitungkan sisa dana BOS di rekening sekolah tersebut.
Selanjutnya, Menkeu menyampaikan penyaluran Dana Insentif Daerah (DID) tahap I sebesar 50 persen telah disalurkan seluruhnya, namun nominalnya lebih rendah, disebabkan alokasi DID tidak sebesar tahun lalu.
Advertisement
Sri Mulyani Cerita Sulitnya Kelola Dana Bagi Hasil
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, mengatur dana bagi hasil (DBH) untuk pemerintah daerah sangat rumit. Hal ini terjadi karena saat ini harga-harga komoditas mengalami kenaikan yang signifikan.
Dengan kenaikan harga komoditas ini, daerah yang merupakan penghasil komoditas tersebut tentu saja saja mengharapkan DBH juga naik. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
"DBH ini tidak dalam situasi yang mudah, misalnya harga CPO ini tinggi sekali tapi biasanya yang ditetapkan undang-undang lebih rendah," kata Sri Mulyani dalam Sosialisasi UU HKPD di Riau, Jumat (25/3/2022).
Dalam UU APBN tahun 2022, harga batu bara ditetapkan sebesar USD 64 per barel, namun saat ini harganya sudah lebih dari USD 100 per barel. Seharusnya, negara bisa mendapatkan penghasilan yang tinggi dari harga jual komoditas yang melonjak.
Sayangnya penerimaan yang tinggi tersebut juga sejalan dengan penambahan subsidi yang harus diberikan pemerintah ke masyarakat. Apalagi harga BBM tingkat global mengalami kenaikan, konsumsi listrik dan bahan pangan juga perlu suntikan subsidi dari pemerintah.
"Jangan sampai duitnya habis karena permintaan tinggi dan subsidi semua naik, BBM, listrik dan pangan juga (naik) subsidinya," kata Sri Mulyani.
Rumusan Baru
Sementara itu daerah penghasil mengharapkan DBH yang diterima tahun depan meningkat karena harga komoditas melonjak. Padahal dalam kondisi sebaliknya, saat harga komoditas dunia anjlok, pemerintah daerah tetap menuntut haknya atas DBH.
"Kalau minyak tinggi maka Riau dapat DBH lebih tinggi, (tapi) ini kami yang menahan syoknya," kata dia.
Dalam kondisi ini pemerintah harus menerima shock absorber. Sehingga mengurangi risiko tersebut, maka pemerintah pusat membuat rumus penghitungan yang baru.
"Di dalam ini kita ada perbaikan, untuk alokasinya ditetapkan T-1," kata dia.
Advertisement