Liputan6.com, Jakarta Unit HSBC Holdings plc di Amerika Serikat dikabarkan telah merekrut belasan mantan bankir dari Silicon Valley Bank (SVB) ang tengah dilanda krisis.
Melansir Channel News Asia, Rabu (12/4/2023) HSBC cabang Amerika Serikat USA mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa perekrutan itu akan membantu bank membangun praktik perbankan khusus, yang berfokus pada melayani perusahaan teknologi dan perawatan kesehatan, serta investor yang mendukung mereka.
HSBC awalnya membentuk tim yang terdiri lebih dari 40 bankir di San Francisco Bay Area, Boston dan New York sebagai bagian dari inisiatif ini, kata bank tersebut.
Advertisement
HSBC merinci, karyawan baru yang direkrut termasuk Sunita Patel, yang akan mengawasi unit investor dan pengembangan bisnis untuk pasar teknologi dan perawatan kesehatan, Katherine Andersen yang akan memimpin ilmu kehidupan dan perawatan kesehatan, dan Melissa Stepanis, yang akan mengawasi bagian teknologi.
Praktik perbankan baru HSBC akan berada dalam bisnis perbankan komersial bank di AS.
Bulan lalu, HSBC mengakuisi cabang Silicon Valley Bank di Inggris dengan harga senilai satu poundsterling, menyelamatkan pemberi pinjaman utama untuk perusahaan rintisan teknologi di Inggris.
Seperti diketahui, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) pada 10 Maret 2023 mengambil alih Silicon Valley Bank setelah deposan bergegas menarik uang mereka di bank. Adapun Signature Bank yang juga ikut kolaps setelah kehilangan lebih dari setengah nilai pasarnya.
Regulator AS bulan lalu memutuskan untuk mendukung kesepakatan pemberi pinjaman regional First Citizens BancShares untuk mengakuisisi Silicon Valley Bank, namun langkah itu dikhawattirkan memicu kerugian sekitar USD 20 miliar.
Waspada, Krisis Perbankan AS Berpotensi Jadi Resesi Ekonomi
Krisis perbankan yang disebabkan oleh ambruknya Silicon Valley Bank dan Signature Bank telah meningkatkan kemungkinan resesi di Amerika Serikat. Hal itu diungkapkan oleh CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon.
Mengutip CNN Business, Sabtu (8/4/2023) Dimon mengatakan bahwa sementara sistem perbankan kuat dan sehat, gejolak baru-baru ini di sekitar sistem keuangan mendorong kemungkinan resesi.
"Kami melihat orang-orang mengurangi sedikit pinjaman, mengurangi sedikit, dan menarik sedikit," ungkap Dimon dalam sebuah wawancara eksklusif dengan CNN.
"Itu adalah (tanda) resesi," sebutnya.
Kenaikan suku bunga Federal Reserve saat ini, ditambah inflasi yang tinggi serta perang Rusia Ukraina menjadi risiko terbesar yang Dimoo lihat untuk perekonomian AS.
Terapi Dimon mengatakan dia masih optimis dengan kekuatan sumber daya manusia di Amerika Serikat.
"Saya pikir kita harus memuji usaha bebas dan kita harus mendorong keuntungansementara kita memperbaiki yang negatif, bukan merendahkan semuanya," ujarnya.
Advertisement
Krisis Perbankan di AS Belum Usai?
Namun, Dimon belum yakin apakah ekonomi AS sudah berhasil melalui krisis perbankan.
"Saya berharap ini akan selesai, Anda tahu, semoga tidak lama lagi," katanya.
Dimon mengatakan dia tidak bisa memprediksi apakah akan ada bank lain di AS yang akan bangkrut tahun ini, mengatakan bahwa krisis perbankan saat ini berbeda dengan krisis keuangan tahun 2008.
"Kegagalan tidak apa-apa, asal tidak ada efek domino," imbuhnya.
Dimon tetap memperingatkan bahwa bank regional dan konsumen di Amerika harus "bersiap untuk tingkat (bunga) yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Saya tidak tahu apakah itu akan terjadi, tetapi bersiaplah untuk gelombang itu".
Silicon Valley Bank Kolaps, Sri Mulyani Pelototi Krisis Perbankan di AS dan Eropa
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pihaknya memantau dengan cermat pada situasi krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa.
Hal itu disampaikan Menkeu dalam acara Gala Seminar ASEAN 2023: “Enhancing Policy Calibration for Macro Financial Resilience” pada Rabu sore (29/3).
Sekarang kita mengerti bahwa situasi di Amerika Serikat dan Silicon Valley Bank, di mana bank yang memegang obligasi pemerintah, tingkat suku bunga yang sangat curam oleh Federal Reserve memengaruhi harga. Jadi market to market pasti akan menggerus neraca mereka," kata Sri Mulyani dalam paparannya di Bali Nusa Dua Convention Center 1 (BNDCC 1), Nusa Dua, Bali pada Rabu (29/3/2023).
"Jadi Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga penjaminan simpanan kita melihat dengan kewaspadaan tinggi pada episode yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa," jelasnya.
Menkeu mengatakan, pihaknya terus melakukan diskusi dan stress test, bahwa masalah ini tidak akan sampai menjadi kejutan potensi risiko yang mungkin datang dari dinamika yang sangat berbeda.
"Dan itulah mengapa dalam kalibrasi kebijakan, ketika kami memiliki waktu untuk berkonsolidasi, kami harus berkonsolidasi, melakukannya dengan cara yang sangat kredibel dan transparan, sehingga kami dapat membuat buffer karena kami benar-benar tidak tahu apakah 6 bulan atau 12 bulan ke depan situasinya tidak akan menguntungkan dan Anda membutuhkan semua kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian," imbuhnya.
Dilanjutkan Sri Mulyani, kebijakan memainkan peran yang sangat penting sebagai shock absorber counter cyclical policy.
"Masalah ekonomi mana pun akan berada dalam situasi yang sangat sulit, ketika kebijakan Anda menjadi prosiklikal. Saat ada cycle down malah bikin tambah parah, saat cycle up malah bikin overheat," ujarnya.
Pentingnya Koordinasi
Maka dari itu, penting untuk terus melakukan koordinasi antara semua otoritas.
Sri Mulyani mengungkapkan, bahwa dia terus menjalin relasi baik dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, dan itu sangat membantu karena pada saat krisis, pasar dan ekonomi membutuhkan jangkar kepercayaan.
"Kami belajar banyak tentunya, Pak Perry adalah seorang veteran dan dia pernah di IMF dan di World Bank. Sehingga kami tahu bahwa di saat krisis, kami harus (bekerja) bersama," tambahnya.
Advertisement