Liputan6.com, Jakarta - Musim liburan di kota bersejarah Chiang Mai terancam karena kota ini mengalami salah satu tingkat polusi tertinggi di dunia akibat kebakaran hutan dan pembakaran jerami.
Dikutip dari almayadeen, Kamis (13/4/2023), tingkat polusi di Thailand Utara telah menimbulkan efek merugikan bagi kota Chiang Mai, perekonomian dan penduduknya.
Baca Juga
Kebakaran hutan dan petani membakar tunggul tanaman menghasilkan kabut yang menyelimuti kota wisata itu. Platform pemantauan udara global IQAir memeringkatkan kota ini sebagai salah satu kota paling tercemar di dunia, di atas kota New Delhi dan Lahore.
Advertisement
Gambar dan video kabut dengan cepat beredar, menjangkau wisatawan yang membatalkan perjalanan ke Thailand. Pariwisata adalah sektor utama Thailand, dan polusi memiliki dampak buruk terhadapnya.
Potensi Dampak Polusi Udara
Pendiri LSM Thailand Clean Air Network dan mantan ekonom Bank Dunia, Weenarin Lulitanonda menuturkan, udara yang dihirup orang-orang di Thailand Utara mempersingkat hidupnya tiga hingga empat tahun.
“Itu menyebabkan kanker, masalah kesehatan mental, masalah lainnya. Dan hampir tidak ada yang membahas penyebabnya, ada begitu banyak kepasifan,” ujar dia dikutip dari Al Jazeera.
Ia mencoba menggalang masyarakat Thailand dan memaksa pemerintah untuk mengatasi apa yang telah menjadi salah satu bencana paling akut di kawasan itu. Setiap tahun antara Februari-April, sekarang hanya disebut sebagai “musim kabut asap”. Thailand bagian utara memerangi tingkat kabut asap yang berbahaya.
Pada Selasa, Chiang Mai, pusat budaya dan wisata di kawasan itu, serta rumah bagi sekitar 128.000 orang menduduki peringkat sebagai kota paling tercemar di dunia di atas Lahore, Teheran dan Beijing.
Dampak terhadap Kesehatan
Pada 6 April 2023, hari terburuk 2023, pembacaan mencapai 223, mernurut perusahaan kualitas udara Swiss IQAir, hampir 15 kali lipat dari batasi harian yang disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
PM 2,5 adalah partikel halus di dalam asap yang berdiameter 2,5 mikron atau kurang dan dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan telah dikaitkan dengan masalah kesehatan seperti bronchitis akut dan kronis, serta serangan asma.
Tidak perlu peralatan rumit untuk melihat masalahnya. Kabut beracun membatasi jarak pandang hingga beberapa ratus meter, selimut kabut asap terlihat seperti kabut beracun.
Ribuan orang menderita masalah pernafasan, hanya satu rumah sakit di Chiang Mai yang melaporkan hampir 13.000 pasien mencari pengobatan untuk masalah pernafasan pada kuartal I 2023, menurut outlet media Prachatal.
Tidak lagi bisa mengabaikan masalah, pihak berwenang fokus pada gejalanya. Mereka menyemprotkan air ke udara di pusat kota dan menyemai awan dari pesawat milter, berharap hujan turun untuk hilangkan polusi hingga efek yang bisa diperkirakan berkurang.
Sumber Masalah
Ahli menuturkan, untuk mengatasi sumber masalah yang sebenarnya, pemerintah harus hadapi salah satu pendukung politiknya yang penting. “Masalahnya sangat terkait dengan industri pertanian besar yang bahkan tidak dicoba disentuh oleh pemerintah,” ujar dia.
“Keluarga taipan di puncak ekonomi, termasuk mereka yang menjalankan konglomerat agribisnis, sangat dekat dengan pemerintah. Mereka menyumbang ke semua partai besar dekat dengan militer,” ujar Profesor Politik dan Kebijakan di Dublin City University, Danny Marks.
Advertisement
Sumber Masalah Lainnya
Selain itu, sumber terbesar dari asap beracun yaitu pembakaran lahan. Profesor di Universitas Chiang Mai, Somporn Chiantara menuturkan, pada periode kabut asap, setengah kabut asap berasal dari pembakaran biomassa pertanian. Petani memakai api terkendali untuk hilangkan semak, suburkan tebu, jagung dan sawah.
“Musim panen jatuh pada musim kemarau, ketika angin maupun hujan, tidak dapat hilangkan kabut,” ujar dia.
Partikel yang dikenal sebagai aerosol, produk dari reaksi kimia dari polutan yang sebagian besar berasal dari kebakaran lapangan di udara yang stagnan, menyebabkan 30 persen kabut lebih lanjut.
Dominasi partikel PM 2,5 dari pembakaran memberikan ciri khas bau di Thailand Utara. “Narasi menyalahkan petani atau negara tetangga, secara politik, mereka adalah kambing hitam,” ujar dia.
Dia menekankan, bagaimanapun akar penyebabnya terletak di Thailand, bahkan jika beberapa pembakaran terjadi di luar negeri.
Terkait Pertanian
Masalah sebenarnya, menurut dia adalah kontrak pertanian. Petani kecil yang mendominasi di Thailand membuat kontrak dengan perusahaan besar menjual benih dan pupuk kepada mereka dan berkomitmen membeli hasil panen. Hal ini memaksa petani untuk memaksimalkan produksi. Tanpa modal untuk investasi pada panen modern, pembakaran ladang adalah metode termudah untuk meningkatkan produktivitas.
Weenarin menuturkan, Undang-Undang Udara Bersih Thailand, proposal legislative warga negara yang diajukan ke parlemen dapat membantu. Masalah lain, menurut dia, banyak warga Thailand sehari-hari tampaknya tidak cukup peduli untuk mendorong pemerintah mengambil tindakan atas polusi udara.
“Masyarakat mati rasa terhadap isu tersebut dan lingkungan bukanlah isu besar bagi protes mahasiswa sejak 2020,” ujar Marks dari Dublin City University.
Bahkan saat Chiang Mai terjebak, tidak ada satu pun partai utama yang bersaing dalam pemilu Mei yang kampanyekan masalah lingkungan. “Politikus tidak peduli dengan orang-orang di utara, hanya 10 persen dari pemilih. Namun, ini seharusnya tidak menghentikan kita mencoba melakukan sesuatu,” ujar dia.
Advertisement