Sukses

Pertemuan IMF-World Bank: Ekonomi ASEAN Diprediksi Tumbuh 4,4 Persen, tapi Ada Tantangan

Pertemuan musim semi IMF-World Bank di Washington D.C mengungkap kemungkinan tingkat pertumbuhan di dunia termasuk ASEAN. Wilayah Asia Tenggara sendiri diprediksi tumbuh 4,4 persen di 2023.

Liputan6.com, Jakarta Pertemuan musim semi IMF-World Bank di Washington D.C mengungkap kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi di dunia termasuk ASEAN. Wilayah Asia Tenggara sendiri diprediksi ekonomi tumbuh 4,4 persen di 2023.

Angka inj relatif lebih baik dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,8 persen. Indonesia, Vietnam dan Filipina masing-masing diproyeksikan tumbuh 5,0 persen, 5,8 persen, dan 6,0 persen pada tahun 2023.

Namun, proyeksi ini bukan tanpa tantangan. Ada sejumlah tantangan ekonomi yang menghantui besarnya pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN ini.

Diantaranya mencakup tekanan inflasi yang tetap tinggi, kerentanan pada sektor perbankan dan kekhawatiran penyebaran pada sektor keuangan secara lebih luas, serta dampak dari perang di Ukraina yang terus berlanjut dengan tekanan geopolitik yang masih tinggi.

Hal ini mengemuka dalam rangkaian Pertemuan Musim Semi International Monetary Fund dan World Bank (IMF-World Bank), termasuk di dalamnya pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 yang diselenggarakan pada tanggal 10-15 April 2023 di Washington D.C. Amerika Serikat dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati.

"Dengan perkembangan dan prospek perekonomian global yang semakin kompleks, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menyepakati Global Policy Agenda dimana pembuat kebijakan perlu fokus pada upaya menjaga stabilitas perekonomian, membantu negara dalam kelompok rentan, dan memastikan tercapainya kesejahteraan," tulis rilis resmi Bank Indonesia, Sabtu (15/4/2023).

Secara lebih detil IMF mendorong respons kebijakan dengan immediate impact. Yakni penurunan tingkat inflasi dan pengelolaan ekspektasi inflasi dengan komunikasi kebijakan yang jelas, pemantauan risiko stabilitas sistem keuangan, penguatan pengawasan, pengelolaan pergerakan nilai tukar, normalisasi kebijakan fiskal, penyediaan bantuan bagi kelompok rentan, serta peningkatan ketahanan pangan.

Selanjutnya, Kebijakan jangka menengah meliputi antara lain pemulihan keberlanjutan fiskal, reformasi struktural untuk meningkatkan pasokan, serta mitigasi risiko pandemi. Sedangkan kebijakan jangka panjang meliputi penguatan kerja sama multilateral, penguatan stabilitas International Monetary System, pengentasan isu sektor kesehatan, serta percepatan upaya menuju ekonomi hijau, digital dan inklusif.

 

2 dari 4 halaman

Butuh Bauran Kebijakan

Pada kesempatan tersebut, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menekankan pentingnya menerapkan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung pemulihan pertumbuhan. Dalam hal ini, kebijakan bank sentral tidak hanya bertumpu pada kebijakan suku bunga, melainkan juga dapat menggunakan perangkat kebijakan lainnya seperti intervensi nilai tukar, capital flow management, serta kebijakan makroprudensial (bauran kebijakan).

Untuk itu, Gubernur BI menyambut baik perkembangan diskusi dan pekerjaan terkait Integrated Policy Framework (IPF) dari IMF maupun Macro-Financial Stability Framework (MFSF) dari BIS. Selain itu, Bank Indonesia mendorong pemanfaatan digitalisasi di bidang sistem pembayaran melalui pengembanganCross Border Payment (CBP).

Dalam hal ini, Perry Warjiyo menyampaikan langkah Indonesia yang sejak tahun lalu mempelopori penandatanganan Regional Payment Connectivity (RPC) dengan lima negara ASEAN sebagai bentuk konkrit dari kerja sama internasional untuk mendukung pemulihan pertumbuhan ekonomi.

 

3 dari 4 halaman

Utang Luar Negeri Turun

Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mengalami penurunan di akhir Februari 2023 dengan USD 400,1 miliar atau setara Rp 5.841 triliun (kurs Rp 14.600). Sebelumnya, di Januari 2023 Utang Luar Negeri Indonesia tercatat sebesar USD 404,6 miliar atau setara Rp 5.907 triliun.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menuturkan perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan Utang Luar Negeri sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. Secara tahunan, posisi ULN Februari 2023 mengalami kontraksi sebesar 3,7 persen (yoy), lebih dalam daripada kontraksi 2,0 persen (yoy) pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, Posisi ULN pemerintah pada Februari 2023 tercatat USD 192,3 miliar atau setara Rp 2.807 triliun. Ini lebih rendah dibandingkan posisi bulan sebelumnya sebesar USD 194,3 miliar atau setara Rp 2.836 triliun. Secara tahunan, ULN pemerintah mengalami kontraksi pertumbuhan yang lebih dalam, dari 2,5 persen (yoy) pada Januari 2023 menjadi 4,4 persen (yoy) pada Februari 2023.

Perkembangan tersebut didorong oleh pergeseran penempatan dana investor nonresiden pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik seiring dengan volatilitas pasar keuangan global yang masih tinggi.

"Pemerintah tetap berkomitmen menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel," ujar Erwin.

 

4 dari 4 halaman

Prioritas

Menurutnya, penggunaan ULN sendiri diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dan belaja prioritas, mengingat kedudukannya dalam APBN. Misalnya, dalam rangka menopang dan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian global.

Dukungan tersebut mencakup, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,0 persen dari total ULN pemerintah), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,8 persen), jasa pendidikan (16,7 persen), konstruksi (14,2 persen), serta jasa keuangan dan asuransi (10,4 persen). "Posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah," tegasnya.